TANGGAL 10 September 2001, dalam sebuah acara kuis Who Wants To Be A Millionaire, pembawa acara Chris Tarrant menanyakan pertanyaan pamungkas kepada Charles Ingram.
“Apa sebutan untuk angka 1 yang diikuti oleh seratus angka nol di belakangnya?”
Ingram sempat kebingungan. Dia sempat berceracau bahwa dia tak yakin jawabannya, termasuk tidak pernah mendengar istilah googol. Ketika istilah itu disebutnya, terdengar suara batuk. Ingram mendadak optimistis. “Googol, googol. Saya rasa itu jawabannya, meski saya tak tahu apa itu.”
Tak lama kemudian, mantan Mayor di Angkatan Darat Inggris itu mengepalkan tangannya ke udara. Senyum cerahnya menghiasi layar kaca. Jawabannya benar. Ia berhasil memenangkan hadiah utama satu juta poundsterling. Sayang seribu sayang, uang itu tak didapat. Sesaat setelahnya, Ingram dituduh berbuat curang dalam kuis tersebut. Namanya sontak sliweran di media dan menjadi buah bibir masyarakat internasional.
Siapa sangka sehari berselang, kasus tersebut menjadi sepi. Berita utama di media-media internasional yang awalnya menyoroti dugaan kecurangan yang dilakukan Ingram, menjadi fokus pada isak tangis warga Amerika Serikat. Siang itu, Selasa, 11 September 2001, serangan teroris meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) di kota New York.
Dua pesawat, American Airlines penerbangan nomor 11 dan United Airlines nomor 175, dibajak dan menabrak menara WTC itu. CNN melaporkan, setidaknya 2.977 orang meninggal dunia. Sementara itu, di gedung pertahanan AS, Pentagon, 184 orang meninggal dunia setelah pesawat American Airlines nomor penerbangan 77 yang dibajak menabrak gedung itu.
Di Pennsylvania, 40 penumpang dan awak pesawat United Airlines nomor penerbangan 93 meninggal dunia ketika pesawat itu jatuh ke sebuah lapangan kosong. Diduga pesawat itu juga dibajak, namun penumpang dan awak kabin berusaha mengambil kontrol pesawat itu dari teroris.
Serangan teror 9/11, begitu kemudian tragedi itu dikenang, menjadi sejarah hitam tidak hanya bagi masyarakat Amerika Serikat tapi juga bagi seluruh warga dunia, terutama bagi mereka yang berada di Timur Tengah.
Lima belas tahun kemudian, majalah sains Europhysics News volume 47/4 Tahun 2016 memuat hasil riset bertajuk “15 Tahun Kemudian: Kajian Fisika di Balik Runtuhnya Bangunan Tinggi”. Riset ini berusaha menemukan penjelasan ilmiah di balik kejadian 9/11 atau runtuhnya Menara Kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001 silam.
Penulis riset ini adalah Steven Jones (profesor fisika Brigham Young University), Robert Korol (profesor teknik sipil McMaster University), Anthony Szamboti (insinyur konstruksi mesin pada industri penerbangan), dan Ted Walter (arsitek dan insinyur 9/11 Truth).
Sebagaimana diketahui, pada pagi 11 September 2001, Menara Kembar WTC runtuh. Sore di hari yang sama, Gedung 7 WTC, terdiri atas 47 lantai, juga rata dengan tanah meskipun tidak ikut ditabrak pesawat terbang. Ketiga bangunan tinggi itu berkerangka baja.
Riset para fisikawan tersebut merupakan bentuk ketidakpuasan atas hasil investigasi Institut Standar dan Teknologi Nasional (NIST) Amerika Serikat (AS) pada 2008 lalu. NIST sebelumnya memaparkan, kejadian 9/11 cenderung disebabkan oleh kebakaran. Kobaran api meludeskan ketiga bangunan WTC, termasuk kerangka baja yang menopangnya.
Keraguan pun mencuat di kalangan ilmuwan. Sebab, bila simpulan NIST itu sahih, maka kejadian 9/11 adalah satu-satunya peristiwa di mana amukan api bisa meluluhlantakkan bangunan tinggi berkerangka baja. Padahal, lanjut para ilmuwan itu, menara berkerangka baja selogisnya hanya bisa runtuh dalam sekejap dengan cara pembongkaran sengaja (controlled demolition), antara lain menggunakan sejumlah bahan peledak.
Mereka bertolak dari fakta ilmiah bahwa kerangka baja cukup kebal terhadap api. Sebab, gedung 7 WTC memiliki tingkat keselamatan rata-rata sebesar tiga poin. Artinya, butuh sedikitnya 67 persen kekuatan yang hilang dari struktur agar keruntuhan mungkin terjadi. Bangunan mungkin luluh lantak hanya bila struktur baja dipanaskan hingga 660 derajat celsius.
Desain bangunan pencakar langit dibuat sedemikian rupa, sehingga guncangan di satu titik tak akan membuatnya runtuh seluruhnya. “Sepanjang sejarah, ketiga menara berkerangka baja itu pernah mengalami rusak sebagian lantaran kebakaran. Namun, tak satu pun yang runtuh seluruhnya. Malahan, banyak bangunan pencakar langit lainnya yang pernah kebakaran hebat tanpa runtuh total atau kehancuran yang berarti,” demikian kutipan hasil riset tersebut di halaman 22, Europhysics News volume 47/4 2016.
“Setelah ditabrak pesawat terbang saat kejadian 9/11, beban yang ada di bangunan (WTC) hanyalah gravitasi dan kobaran api. Tak ada angin kencang hari itu. Maka para insinyur bingung dan terkejut, kenapa Menara Kembar bisa runtuh total,” lanjutnya di halaman 23.
Pada 1993 silam, Menara Kembar WTC pernah diguncang bom. Setelahnya, pencakar langit itu masih berdiri kukuh. Pertanyaannya: bagaimana mungkin tabrakan dengan pesawat jet membuatnya hancur lebur?
Riset ini lantas mengutip sebuah wawancara Seattle Times dengan pakar konstruksi bangunan, John Skilling. Ia menegaskan, kebocoran tangki bahan bakar pesawat memang bisa memicu kebakaran hebat di sekujur WTC. Namun, kebakaran tak akan mampu meruntuhkannya. “Struktur bangunan (WTC) akan tetap berdiri,” kata John Skilling.
Apalagi diketahui, WTC dirancang mampu bertahan terhadap tabrakan dengan pesawat jet. Dengan kata lain, Skilling percaya bahwa satu-satunya cara meludeskan gedung WTC adalah dengan pembongkaran sengaja (controlled demolition).
Investigasi NIST pun dipertanyakan. Sebab, lembaga tersebut tidak sampai menyelidiki sisa-sisa logam meleleh yang ditemukan di puing WTC. Padahal, dokumen video menunjukkan, ada percikan api berwarna oranye yang muncrat dari bangunan WTC selama tujuh menit, sebelum akhirnya runtuh.
Alih-alih, NIST berkesimpulan bahwa percikan api itu berasal dari alumunium badan pesawat yang menabrak Menara Kembar. Alumunium itu, menurut NIST, bercampur dengan material organik. Namun, pelbagai percobaan membuktikan sebaliknya. Bila simpulan NIST itu sahih, percikan api seharusnya berwarna perak, bukan oranye.
Para peneliti menegaskan, warna oranye itu diduga kuat berasal dari baja panas yang meleleh akibat bereaksi dengan thermite. Bahkan, di bekas reruntuhan WTC ditemukan sejumlah material yang terpapar thermite berukuran nano yang belum sempat bereaksi.
Dalam mekanisme penghancuran bangunan pencakar langit, thermite merupakan bahan peledak yang biasa dipakai. Sebagai perbandingan, pada 1935, Menara Sky Ride setinggi 191 meter di Chicago, AS, diruntuhkan dengan menggunakan 680 kilogram thermite dan 58 kilogram dinamit.
“Bukti menunjukkan kesimpulan bahwa ketiga bangunan itu (WTC) luluh lantak karena pembongkaran sengaja (controlled demolition). Lantaran itu, otoritas terkait berkewajiban secara moral untuk membuat investigasi yang benar-benar ilmiah dan tak berpihak,” demikian kesimpulan laporan riset setebal lima halaman itu. (*)