Tanggal 1 Oktober akan menandai dirgahayu ke-70 Republik Rakyat China, Presiden Xi Jinping akan menyampaikan pidato yang akan merayakan catatan Partai Komunis sejak 1949. Namun di balik optimisme dan kepercayaan diri Xi, para petinggi partai semakin khawatir tentang prospek masa depan rezim—dan dengan alasan yang bagus.
Pada tahun 2012, ketika Xi mengambil alih kekuasaan, ia berjanji akan mengantarkan kesuksesan besar dalam peringatan satu abad mendatang, menandai pembentukan partai di tahun 1921 dan republik di tahun 1949. Namun perlambatan ekonomi yang terus-menerus dan meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat kemungkinan akan merusak suasana pesta saat perayaan di tahun 2021. Dan rezim satu partai kemungkinan tidak akan bertahan sampai 2049.
Walau secara teknis tidak ada batasan waktu untuk kediktatoran, PKC kini mendekati batas umur panjang untuk rezim satu partai. Institutional Revolutionary Party Meksiko mempertahankan kekuasaan selama 71 tahun (1929-2000); Partai Komunis Uni Soviet berkuasa selama 74 tahun (1917-1991); dan Kuomintang Taiwan selama 73 tahun (1927-1949 di China daratan dan 1949-2000 di Taiwan). Rezim Korea Utara, dinasti keluarga ala Stalin yang telah berkuasa selama 71 tahun adalah kompetisi PKC satu-satunya saat ini.
Namun pola historis bukan satu-satunya alasan kekhawatiran PKC. Kondisi yang memungkinkan rezim ini pulih dari bencana ciptaan mereka sendiri yaitu Maonisme dan untuk menjadi makmur dalam empat dekade terakhir telah digantikan dengan keadaan yang lebih tidak menguntungkan—dan dalam beberapa hal lebih keras.
Ancaman terbesar bagi keberlangsungan jangka panjang PKC berada pada perang dingin yang tengah berlangsung dengan Amerika Serikat. Dalam sebagian besar era pasca-Mao, pemimpin China berusaha untuk tidak mencolok di panggung internasional, bersusah payah menghindari konflik sambil membangun kekuatan di dalam negeri. Namun pada tahun 2010, China telah menjadi kekuatan ekonomi yang besar, mengejar kebijakan luar negeri yang semakin berotot. Fakta ini memicu kedongkolan AS, yang secara perlahan mulai menggerakkan kebijakannya ke arah situasi konfrontatif saat ini.
Dengan kemampuan militer yang superior, efisiensi ekonomi dan teknologi, serta jaringan persekutuan (yang tetap besar dan kuat walaupun ada kepemimpinan menghancurkan dari Presiden Trump), AS kemungkinan besar akan lebih bisa bertahan dalam perang dingin Sino-Amerika dibanding China. Walaupun kemenangan Amerika bisa jadi terlalu banyak menghancurkan, hal itu masih tetap akan menyegel nasib PKC.
PKC juga menghadapi angin puyuh ekonomi yang kencang. Apa yang disebut keajaiban China dimotori oleh kekuatan tenaga kerja yang besar dan muda, urbanisasi yang cepat, investasi infrastruktur berskala besar, liberisasi pasar, dan globalisasi—semua faktor yang kini sudah menghilang atau berkurang.
Reformasi radikal—khususnya dalam memprivatisasi perusahaan milik negara dan berakhirnya praktik dagang neo-merkantilis—bisa mempertahankan pertumbuhan. Namun, walau menjanjikan reformasi pasar yang berkelanjutan, PKC ragu untuk menerapkannya dan memilih untuk terus bergantung pada kebijakan yang memihak sektor milik negara alih-alih swasta. Karena sektor milik negara membentuk fondasi ekonomi kekuasaan satu partai, prospek para pemimpin partai akan secara tiba-tiba merangkul reformasi ekonomi radikal terlihat suram.
Tren politik domestik juga sama mengkhawatirkannya. Di bawah Xi, PKC telah mengabaikan pragmatisme, fleksibilitas ideologi, dan kepemimpinan kolektif yang telah sangat berguna di masa lalu. Dengan peralihan neo-Maonisme PKC—termasuk penerapan ideologis yang ketat, disiplin organisasi yang kaku, dan kekuasaan otoriter yang berlandaskan ketakutan—risiko bencana akibat kesalahan kebijakan meningkat.
Untuk pastinya, PKC tidak akan jatuh tanpa perlawanan. Seiring genggamannya terhadap kekuasaan melemah, PKC kemungkinan akan berusaha untuk menancapkan nasionalisme di kalangan pendukungnya, sambil berusaha meningkatkan opresi terhadap lawan-lawannya.
Namun strategi ini tidak akan bisa menyelamatkan rezim satu partai China. Walaupun nasionalisme mungkin bisa mendongkrak dukungan untuk partai dalam jangka pendek, energinya pada akhirnya akan buyar, terutama jika PKC gagal memberikan perbaikan standar hidup. Dan, rezim yang bergantung pada pemerasan dan kekerasan akan membayar harga besar dalam bentuk aktivitas ekonomi yang tertekan, meningkatnya perlawanan populer, melonjaknya biaya keamanan, dan isolasi internasional.
Ini bukanlah gambaran yang membesarkan hati yang akan ditampilkan Xi kepada rakyat China pada tanggal 1 Oktober nanti. Namun tidak peduli sebesar apapun nasionalisme yang disuntikkan tidak akan mengubah fakta bahwa terburainya kekuasaan PKC tampaknya semakin dekat dibanding masa manapun juga setelah berakhirnya era Mao. (*)