JAKARTA-Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo menjelaskan isi beberapa prasasti bukti keberadaan Kerajaan Sriwijaya. Penjelasan tersebut sebagai bantahan tentang apa yang dikatakan Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengenai Sriwijaya fiktif.
Sebelumnya, Babe Ridwan menyebutkan Sriwijaya fiktif dalam video di kanal Youtube Macan Idealis. Kerajaan Sriwijaya dianggapnya sebagai gabungan bajak laut.
Tomi sapaan Bambang menjelaskan secara singkat melalui akun media sosial pribadinya di Facebook Bambang Budi Utomo mengenai isi dari prasasti-prasasti Sriwijaya. Berikut penjelasan Tomi yang diunggah pada Senin, 9 September 2019:
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan di sebuah rumah warga di Lorong Kedukan, Kelurahan 35 Ilir, Kecamatan Ilir Barat II, Palembang. Dituliskan pada sebuah batu andesit yang tidak dibentuk, masih dalam keadaan alami.
Dalam prasasti ini ada tiga pertanggalan penting sampai terbentuknya sebuah wanua (kampung), yaitu pertama pada 23 April 682 Dapunta Hiyan melakukan perjalanan suci, untuk merayakan Hari Trisuci Waisak.
“Kedua 19 Mei 682 Dapunta Hiyan dengan membawa lebih dari dua laksa tentara dengan 200 peti perbekalan naik perahu dan 1312 orang berjalan kaki berangkat dari Minana. Dan 16 Juni 682 rombongan Dapunta Hiyan tiba di Mukha Upan, kemudian membuat wanua, dan Sriwijaya menang,” tulis Tomi
2. Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di Desa Talang Kelapa, Kecamatan Talang Kelapa, Palembang pada 1920. Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno terdiri dari 14 baris.
“Dipahatkan pada sebuah batu yang sudah dibentuk empat persegi jajaran genjang. Isinya tentang pembangunan Taman Sriksetra oleh Sri Jayanasa pada 23 Maret 684 dengan tujuan untuk kesejahteraan semua mahluk,” tutur Tomi.
Tomi juga menuliskan empat poin sebagian isi prasasti tersebut. Pertama, pada 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Sriksetra dibuat. Kedua, di bawah pimpinan Sri Baginda Sri Jayanasa. Inilah niat baginda: semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu.
Kemudian ketiga, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula bambu haur, waluh, pattum, dan sebagainya; dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya.
“Dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk, yang dapat pindah tempat dan yang tidak, dan bagi mereka menjadi jalan terbaik untuk mendapatkan,” demikian isi poin keempat Prasasti Talang Tuwo yang dijelaskan Tomi.
3. Prasasti-prasasti Persumpahan
Prasasti-prasasti ini berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang atau tidak mau berbakti kepada datu Sriwijaya. Istilah “Persumpahan” berasal dari datu Sriwijaya sendiri, sebagaimana tercantum dalam prasasti-prasasti itu.
“vanak mmu ura vinunu sumpa dari mama kamu. kadci kmu tda bhakti,” Tomi menuliskan salah satu kalimat dari Persumpahan. Yang artinya: “Apabila kalian tidak setia kepadaku, kalian akan mati oleh kutukan ini.”
Prasasti persumpahan atau prasasti kutukan ditemukan sejak 1892 hingga yang terakhir ditemukan 1985 seluruhnya berjumlah enam buah prasasti, lima buah di antaranya dalam keadaan utuh. Dari enam prasasti tersebut yang paling lengkap isi persumpahannya hanya Prasasti Telaga Batu yang ditemukan di Palembang pada 1935 di Kelurahan 2 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II.
“Berbeda dengan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, prasasti ini bagian atasnya dihias dengan kepala tujuh ekor naga. Bagian yang ditulis terletak di bawah hiasan kepala naga, dan bagian bawah bidang yang ditulis terdapat saluran air yang membentuk semacam corong ke tengah,” ujar Tomi.
Mungkin, Tomi melanjutkan, tempat air pembasuh tulisan yang kemudian ditampung dalam wadah dan diminum oleh pejabat yang diambil sumpah. Sayangnya, pada prasasti ini tidak tercantum pertanggalannya. Namun berdasarkan paleografinya berasal dari abad ke-7 Masehi.
Prasasti Telaga Batu ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno, terdiri dari 28 baris tulisan. Secara garis besar isinya kutukan terhadap siapa saja yang melakukan kejahatan, pengkhianatan, dan tidak taat kepada perintah datu.
4. Prasasti Siddhayatra
Prasasti ini paling banyak ditemukan di daerah bekas kota Sriwijaya di Palembang. “Siddhayatra” berarti “perjalanan suci” atau lengkapnya “Jayasiddhayatra”. Ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno pada sekeping batu yang tidak utuh.
Maksudnya ditemukan dalam keadaan fragmentaris, sebagian besar ditemukan di Situs Telaga Batu, dekat dengan temuan Prasasti Telaga Batu. Menurut laporan Belanda, dari situs tersebut ditemukan 30 buah prasasti siddhaytra.
Jayasiddhayatra (Prasasti D-156); Siddhayatra (Prasasti D-157); Jayasiddhayatrasarwwasatwah (Prasasti D-158) yang berarti “perjalanan suci yang menang dan sukses bagi semua mahluk”; Jayasiddhayatra (Prasasti D-159); Siddhayatra sarwasatwa (Prasasti D-160), yang berarti “perjalanan suci yang menang dan sukses bagi semua mahluk.”
Selain di kota Palembang, prasasti Siddhayatra ditemukan juga di Situs Kota Kapur, Prasasti Siddhayatra D. 126 (Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Darat, Kabupaten Bangka), dan di Situs Candi Agung (Amuntai, Kalimantan Barat).
5. Prasasti Hujun Lanit
Pada 1912/1913 di Kampung Harakuning, Desa Hanakau, Kec. Sukau, Lampung Barat, ditemukan sebuah prasasti batu terdiri dari 18 baris tulisan yang ditulis dalam aksara mirip Jawa Kuno (Pasca Pallawa) dan bahasa Melayu Kuno yang kadang bercampur dengan Jawa Kuno.
“Setelah lama ditemukan, barulah pada 2004 prasasti ini berhasil dibaca dan diinterpretasi oleh Binsar Tobing sebagai kajian skripsi. Secara garis besar prasasti ini berisi tentang penetapan hutan di Hujun Lanit sebagai sima oleh Pungku Haji Yuwarajya Sri Haridewa, supaya dipergunakan untuk pemeliharaan bangunan suci vihara,” tutur Tomi.
Peristiwa tersebut disaksikan oleh banyak pejabat yang hadir, dan ditetapkan pada 12 November 997 Masehi. Meskipun ini bukan prasasti yang dikeluarkan oleh Sriwijaya, tapi masih dalam kurun keberadaan Sriwijaya.
Dengan demikian, hingga saat ini baru Prasasti Hujun Lanit yang merupakan satu-satunya prasasti tentang penetapan sebuah desa menjadi sima. Yang dikatakan Babe Ridwan “bebas pajak.”
“Demikian sedikit uraian ringkas tentang prasasti-prasasti Sriwijaya. Prasasti yang berkaitan langsung dengan Sriwijaya ditulis dalam aksara Pallawa, berbahasa Melayu Kuno (bukan Bahasa Armenia),” kata Tomi.
Isinya tentang pembentukan wanua (perkampungan) Sriwijaya, pembangunan taman Sriksetra, persumpahan, dan tentang perjalanan suci (Siddhayatra). Sebuah prasasti yang tidak berkaitan langsung berisi tentang penetapan sebuah desa menjadi sima, yaitu Prasasti Hujun Lanit.
Menurut Tomi, prasasti Sriwijaya merupakan prasasti asli, bukan tinulad (salinan). Prasasti tinulad biasanya dipahatkan pada lempengan logam tembaga atau perunggu. “Semoga kutukan Datu Sriwijaya tidak menimpa bagi yang membelokkan sejarah,” demikian kalimat penutup tulisan Tomi. (*)