BAGI BJ Habibie, Hasri Ainun Besari bukanlah orang asing. Keduanya saling kenal sejak kecil. Rumah mereka di Bandung berdekatan. Kakak Ainun bahkan teman main kelereng Habibie.
Menghabiskan masa kecil di Bandung, Habibie dan Ainun masuk ke SMA yang sama (SLTA). Habibie yang merupakan kakak kelas Ainun, selalu jadi siswa paling kecil dan muda di kelasnya. Guru dan teman-teman sering meledek dan menjodoh-jodohkan mereka berdua.
Ainun primadona di sekolah waktu itu. Banyak murid lelaki mengagumi Ainun. Habibie ternyata juga tertarik padanya sejak duduk di bangku SMA. Pada teman sekelasnya, Wiratman Wangsadinata, Habibie berkata, “Wah cakep itu anak, si item gula Jawa,” kata Habibie seperti dikisahkan A Makmur Makka dalam The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan.
Hobi renang Ainun membuat kulitnya menggelap karena terbakar matahari. Pernah suatu ketika Habibie lewat depan Ainun bersama teman-teman lelakinya. “Eh, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?” kata Habibie kepada Ainun. Sontak Ainun bingung dengan pertanyaan itu. “Kok begitu? Mau apa dia,” Ainun membatin.
Kontak mereka terputus karena Habibie melanjutkan studi ke ITB lantas ke Jerman Barat sementara Ainun kuliah kedokteran di Jakarta. Habibie menghabiskan 7 tahun di Belanda tanpa pernah kembali ke Indonesia. Baru pada Januari 1962 ia mendapat cuti dua bulan yang dimanfaatkannya untuk pulang kampung. Ia mengunjungi makam ayahnya di Makassar.
Diantar adiknya, Junus Effendy, Habibie berkunjung ke rumah keluarga Besari di Bandung. Dasar jodoh, kunjungan Habibie berbarengan dengan pulang kampungnya Ainun lantaran sakit. Ainun yang lulus dari Fakultas Kedokteran UI pada 1961 kala itu sudah bekerja di Jakarta.
Ainun sudah jadi dokter dan dikagumi banyak lelaki. Saat pertama kali melihat Ainun kembali itu, Habibie langsung jatuh hati. Dia pun langsung bergerak cepat karena tidak punya banyak kesempatan.
Cuti Habibie tidak berlangsung lama tetapi mereka mengusahakan untuk saling bertemu sampai akhirnya dia memutuskan untuk melamar Ainun di sebuah tanah lapang. “Ainun kamu mau menerbangkan pesawat ini bersama denganku, menjadi pendamping cita-citaku?”
Lamaran Habibie diterima Ainun. Habibie pun rutin mengantar Ainun ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat Ainun bekerja di bagian anak-anak. Habibie juga rutin menjemput Ainun dengan becak saat jam kerja usai.
Pacaran mereka tak lama. Pada 12 Mei 1962, Habibie dan Ainun melangsungkan pernikahan. Setelah itu mereka pindah ke Jerman dan memulai hidup dari nol. Mereka tinggal di rumah susun di luar Aachen, Jerman. Penghasilan Habibie pas-pasan. Ia menerima setengah gaji Diploma Ingineur karena bekerja setengah hari sebagai asisten di Institute Konstruksi Ringan. Ia juga mendapat 600 Deutsche Mark dari DAAD, dinas beasiswa Jerman.
Habibie yang tiap hari naik bus untuk sampai ke tempat kerjanya, seringkali harus berjalan kaki 15 kilometer kalau sedang kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan bus. Perjalanan jauh itu mengakibatkan sepatunya lekas jebol. Habibie baru akan menambalnya kalau sudah musim dingin karena untuk menghindari salju atau udara dingin menembus ke dalamnya.
Jauhnya tempat tinggal mereka sedikit merepotkan Ainun yang kala itu sedang hamil. Untuk memeriksakan kandungannya, ia harus naik bus ke kota. Namun, bus itu hanya lewat dua jam sekali.
Asuransi kesehatan untuk Ainun yang sedang hamil terbilang tinggi. Ia pun putar otak untuk menghemat pengeluaran dengan menjahit baju musim dingin, pakaian bayi, dan memperbaiki baju musim dinginnya sendiri.
Untuk menambah pernghasilan, terlebih mempersiapkan persalinan istrinya, Habibie bekerja sebagai ahli konstruksi di pabrik kereta api Waggonfabrik Talbot. Tugasnya mendesain gerbong-gerbong kereta.
Dalam keterbatasan finansial itu, anak pertama mereka lahir pada 1963. Empat tahun berselang, menyusul lahir anak kedua. Habibie-Ainun terus menjalani keseharian dengan bahagia bersama dua buah hati di Jerman hingga panggilan Soeharto untuk kembali ke Indonesia datang pada 1974.
Di tanah air, Habibie berkarier sesuai minatnya. Alhasil, prestasi demi prestasi terus diraihnya. Dukungan penuh Ainunlah yang ikut membuat karier Habibie meroket hingga menempatkannya ke dalam jajaran tokoh terpenting negeri ini.
Namun, kisah cinta Habibie-Ainun akhirnya berakhir pada 22 Mei 2010 karena kanker ovarium merenggut nyawa Ainun. Habibie yang sangat mencintai istrinya, November tahun itu juga meluncurkan buku Habibie & Ainun yang mengisahkan 48 tahun perjalanan cinta mereka. Romansa cinta keduanya bahkan difilmkan oleh MD Pictures pada 2012. Pengakuan Habibie dalam Mata Najwa Juni 2019, bahwa cintanya pada Ainun tak terpisahkan oleh maut. Tiap Jumat ia selalu ziarah ke makam Ainun dan mengiriminya doa tiap malam.
Hari ini, 11 September 2019, Habibie menyusul sang kekasih ke alam kebadian. “Saya tak mau istri saya dimakamkan di Taman Makan Pahlawan kalau saya tidak di sebelahnya…. Saya tidak lagi takut mati karena saya tahu, siapa di sana yang akan menyambut saya pertama kali. Bukan hanya ibu saya, tapi juga Ainun. ‘Hei, kamu sekarang di sini juga, ya?’” kata Habibie menirukan mendiang istrinya. (*)