JAKARTA-Hingga saat ini sektor industri hasil tembakau merupakan industri legal yang masih menjadi tumpuan hidup lebih dari 6 juta orang. Setiap tahun, pemerintah senantiasa mengandalkan produk hasil tembakau HT untuk memenuhi target penerimaan perpajakan.
Rata-rata setiap tahun, cukai hasil tembakau berkontribusi sebesar 10% dari penerimaan perpajakan. Apabila dihitung dengan kontribusi rokok secara keseluruhan (cukai, PPN HT, pajak rokok) terhadap penerimaan pajak rata-rata setiap tahun mencapai 13,1% .
Pada tahun 2018 pengendalian konsumsi telah terjadi, penurunan produksi yang selaras dengan tingkat prevalensi merokok pada usia dewasa, atau mengalami penurunan sekitar 9,6% dari prevalensi nasional.
Hingga saat ini terdapat berbagai regulasi baik di tingkat nasional maupun daerah yang mempengaruhi keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT). Wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata 23% dan harga jual eceran rokok naik rata-rata 35% oleh pemerintah bisa berakibat pada maraknya rokok ilegal yang imbasnya akan berpengaruh pada target penerimaan dari cukai hasil tembakau sebesar Rp 171,9 triliun di tahun 2020.
Kenaikan cukai hasil tembakau yang terlalu jauh dari angka inflasi dan asumsi pertumbuhan ekonomi, tentunya akan berakibat pada industri hasil tembaku sebagai industri yang menyerap tenaga kerja, pendapatan negara, penyerapan bahan baku dan maraknya rokok ilegal.
Dari kemampuan daya beli masyarakat, semakin tinggi prosentase kenaikan cukai maka semakin less affordability, maka akan berdampak terhadap target penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.
“Faktanya sampai dengan hari ini kenaikan cukai yang berlebihan menjadi stimulant pertumbuhan rokok ilegal,” ungkap Ketua Departemen Media Center AMTI Hananto Wibisono kepada beritaradar.com, Sabtu (14/9).
Jika rokok ilegal semakin marajalela, imbuh Hananto, maka semua pihak akan dirugikan, yaitu pabrikan rokok legal, para pekerjanya, serta para petani tembaku dan cengkeh. Pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak membayar cukai.
Menurutnya, kenaikan yang sangat drastis tersebut akan berdampak kepada berkurangnya lapangan pekerjaan, dan menurunnya produksi rokok serta penyerapan bahan baku.
Hampir setiap tahun pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau, sebagaimana UU Cukai No.39 Tahun 2007, aspek penerimaan negara dijelaskan dalam pasal 5 ayat 4 Undang-Undang Cukai. Sedangkan aspek kesehatan untuk pembatasan konsumsi telah disebutkan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang Cukai, karena produk hasil tembakau adalah salah satu barang kena cukai.
Sehubungan dengan itu, lanjut Hananto, AMTI meminta Pemerintah untuk mempertimbangkan keberlangsungan para pemangku kepentingan IHT dalam melaksanakan kebijakan maupun membuat peraturan yang dapat berpengaruh kepada petani, pekerja dan pelaku usaha. Disamping itu, AMTI juga meminta pemerintah melibatkan para pemangku kepentingan IHT dalam perumusan kebijakan dan perundang-undangan yang mempengaruhi keberlangsungan IHT. (*)