SURABAYA- Polda Jatim memasukkan nama Veronica Koman dalam daftar pencarian orang (DPO). Tersangka kasus penyebaran informasi palsu atau hoaks terkait insiden Papua itu ditetapkan sebagai buron setelah tiga kali mangkir dari panggilan kepolisian.
Kapolda Jatim Irjen Pol Luki Hermawan menyatakan, Veronica dimasukkan DPO setelah polisi melakukan upaya paksa. Yakni, rumahnya di Jakarta telah digeledah polisi. ’’Kami sudah menggeladahnya. Veronica tidak ada di tempat itu. Barang bukti yang disita masih diteliti kembali,’’ katanya kemarin di Mapolda Jatim.
Orang nomor satu di lingkungan kepolisian Jawa Timur itu menjelaskan, selain pemanggilan sesuai prosedur, polisi telah melakukan gelar perkara di Jakarta. Gelar perkara itu ditangani penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jatim bersama Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan Divisi Hubungan Internasional (Hubinter) Polri.
’’Maka, tindakan lanjutannya memberitahukan bahwa Veronica masuk DPO. Surat red notice kami kirimkan ke Prancis,’’ ujar jenderal dua bintang itu.
Surat tersebut, lanjut Luki, bertujuan untuk mencegah tersangka agar tidak lari ke negara-negara lain. Selain itu, dia menyebutkan bahwa perempuan 31 tahun itu berkomunikasi dengan pihak KBRI. Informasi tersebut diberikan pihak Kementerian Luar Negeri. ’’Isinya belum dijelaskan. Yang pasti ada komunikasi. Itu yang terpenting,’’ ucapnya.
Jenderal 54 tahun itu juga menerangkan bahwa Indonesia mempunyai kedaulatan. Hukum di Indonesia, kata Luki, harus ditegakkan. ’’Terkait laporan ke Kompolnas, kami belum menerima suratnya,’’ jelas Luki.
Sebelumnya, Luki juga mengatakan bahwa penyidik menemukan temuan soal rekening Veronica. Dari jumlah rekening itu, polisi menengarai ada beberapa kali penarikan dari sejumlah negara. Itulah yang memperkuat adanya aliran dana ke rekening Veronica. ’’Pasti ada penarikan. Penyidik yang bakal mengembangkannya,’’ tambahnya.
Sebagaimana diberitakan, Veronica ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Dia ditengarai menyebarkan berita bohong. Perbuatannya menimbulkan kericuhan di sejumlah kabupaten di provinsi Papua Barat. Tindakannya melanggar Undang-Undang 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (JP)