TELEGRAM, aplikasi perpesanan terenkripsi yang populer, akan memungkinkan pengguna untuk menyembunyikan nomor telepon mereka untuk melindungi demonstran Hong Kong dari pemantauan oleh pihak berwenang, menurut seseorang yang secara langsung mengetahui upaya tersebut.
Disadur dari Reuters, Minggu (1/9), pembaruan untuk Telegram itu, yang direncanakan akan dirilis selama beberapa hari ke depan, akan memungkinkan pengunjuk rasa untuk mencegah pihak berwenang China daratan dan Hong Kong menemukan identitas mereka dalam obrolan grup besar di aplikasi itu.
Biro Keamanan Hong Kong mengatakan kepada Reuters bahwa mereka “telah bertindak secara bertanggung jawab untuk menangani masa sulit saat ini dengan maksud untuk memulihkan ketertiban umum.” Mereka menolak berkomentar tentang apakah mereka mencoba mengidentifikasi pengunjuk rasa dengan menggunakan aplikasi Telegram.
Kementerian Luar Negeri China, Cyberspace Administration of China (CAC), serta Kantor Urusan Hong Kong dan Macau masih belum menanggapi permintaan komentar di luar jam kerja.
Ribuan pengunjuk rasa Hong Kong berkoordinasi di lebih dari 100 grup di Telegram, menurut penyelenggara protes dan para pendukung. Para pengunjuk rasa menggunakan aplikasi terenkripsi seperti Telegram untuk memobilisasi dengan cepat melalui beberapa obrolan grup, dengan adanya lebih sedikit risiko infiltrasi polisi, menurut sebuah laporan mendalam yang diterbitkan oleh Reutersawal bulan Agustus 2019.
Berbagai grup itu digunakan untuk mengunggah segala sesuatu mulai dari berita tentang protes yang akan datang, tips membersihkan gas air mata yang ditembakkan oleh polisi, identitas terduga polisi dalam penyamaran, hingga kode akses ke gedung-gedung di Hong Kong tempat para demonstran dapat bersembunyi.
Beberapa pengunjuk rasa menyatakan keprihatinan bahwa pihak berwenang dapat menggunakan ketergantungan gerakan pada Telegram untuk memantau dan menangkap para penyelenggara aksi. Berbagai grup obrolan di Telegram yang digunakan untuk mengatur protes publik seringkali dapat diakses oleh siapa saja dan peserta menggunakan nama samaran.
Telegram memungkinkan pengguna untuk mencari sesama pengguna lain dengan mengunggah nomor telepon. Fungsi tersebut memungkinkan pengguna baru dengan cepat mengetahui apakah mereka yang ada di buku kontak ponsel mereka sudah menggunakan aplikasi tersebut, menurut grup itu.
Beberapa pengunjuk rasa mengatakan mereka percaya bahwa para pejabat keamanan China atau Hong Kong telah mengeksploitasi fungsi tersebut dengan mengunggah sejumlah besar nomor telepon. Reuters tidak dapat memastikan apakah hal itu benar-benar telah terjadi.
Aplikasi Telegram secara otomatis akan mencocokkan nomor telepon dengan nama pengguna dalam grup. Pihak berwenang kemudian hanya perlu meminta pemilik nomor telepon dari layanan telekomunikasi lokal untuk mempelajari identitas asli para pengguna.
Telegram telah mendeteksi bukti bahwa pemerintah Hong Kong atau China daratan mungkin telah mengunggah nomor ponsel untuk mengidentifikasi para pengunjuk rasa, menurut seseorang yang mengetahui situasi tersebut secara langsung. Tetapi belum jelas apakah pihak berwenang telah berhasil menggunakan taktik tersebut untuk menemukan para demonstran.
Telegram masih belum menanggapi permintaan komentar.
Sekelompok insinyur Hong Kong yang mengunggah temuan mereka di forum online awal bulan Agustus 2019 juga mengatakan bahwa sebuah fitur dalam desain Telegram mungkin telah memungkinkan otoritas China daratan atau Hong Kong untuk mempelajari identitas asli pengguna.
Perbaikan yang dikerjakan Telegram akan memungkinkan pengguna untuk menonaktifkan pencocokan berdasarkan nomor telepon. Opsi itu mewakili keseimbangan antara mempermudah pengguna untuk menemukan sesama pengguna melalui daftar kontak mereka dan kebutuhan privasi mereka yang bergantung pada aplikasi itu untuk melindungi diri dari agen keamanan negara, menurut sumber itu.
Tetapi adopsi yang luas dari pengaturan keamanan opsional itu akan mempersulit penggunaan aplikasi Telegram bagi sebagian besar dari lebih dari 200 juta konsumennya, yang mengandalkan pencarian kontak telepon untuk mengidentifikasi teman dan anggota keluarga pada aplikasi itu, menurut sumber tersebut.
Bulan Juni 2019, kepala eksekutif Telegram Pavel Durov mengatakan bahwa layanan pesan itu mengalami serangan siber oleh “aktor setingkat negara” dan menganggap China sebagai negara kemungkinan asal serangan itu.
Durov tidak memberikan rincian lebih lanjut, tetapi mengatakan bahwa serangan itu bertepatan dengan protes di Hong Kong. Cyberspace Administration of China (CAC) tidak menanggapi permintaan komentar melalui faksimile pada saat itu.
Langkah Telegram dilakukan ketika polisi Hong Kong menangkap sejumlah aktivis terkemuka dan tiga anggota parlemen hari Jumat (30/8). Hampir 900 orang telah ditangkap sejak demonstrasi dimulai tiga bulan lalu. (*)