KEPALA Kantor Staf Presiden Moeldoko menyebut bahwa tokoh separatis Papua, Benny Wenda, mendalangi kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
“Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu. Dia mobilisasi diplomatik, mobilisasi informasi yang missed, yang enggak benar. Itu yang dia lakukan di Australia, di Inggris,” ujar Moeldoko di kantornya, Gedung Bina Graha, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Ia menilai apa yang dilakukan Benny Wenda merupakan strategi politik. Karena itu, pemerintah juga menanganinya secara politis
Akan tetapi, Moeldoko mengatakan, pemerintah telah menempuh berbagai langkah untuk mengatasi persoalan keamanan di Papua dan Papua Barat.
Salah satu cara yang dilakukan tentunya termasuk diplomasi.
“Itulah, seperti diplomasi. Pastilah dilakukan,” ujar Moeldoko lagi.
Benny Wenda adalah Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement For West Papua (ULMWP). Ia pernah mendapat penghargaan dari Dewan Kota Oxford sebagai “juru kampanye damai untuk demokrasi.”
Wali Kota Oxford, Craig Simmons mengatakan, Wenda layak menerima penghargaan Oxford Freedom of the City karena berkontribusi terhadap masyarakat lokal maupun internasional.
Saat menerima penghargaan itu, Wenda pun mengatakan bahwa “Oxford adalah salah satu yang pertama mendengar seruan rakyat Papua akan keadilan, hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri,” seperti diberitakan BBC pada 17 Juli 2019 lalu.
Namun, keputusan Dewan Kota Oxford tersebut dikecam oleh Pemerintah RI. Kedutaan Besar RI di London mengatakan, Wenda tidak layak menerima penghargaan Oxford Freedom of the City. “KBRI London mempertanyakan dasar pemberian penghargaan iti kepada yang bersangkutan sebagai peaceful campaigner for democracy,” demikian isi rilis pers yang diterbitkan KBRI London.
Sementara itu Kementerian Luar Negeri Inggris saat itu menyatakan, keputusan Dewan Kota Oxford tidak ada hubungannya dengan pemerintah Inggis. Mereka juga menegaskan tidak mendukung kemerdekaan Papua.
Dewan Kota Oxford, menurut Kementerian Luar Negeri Inggris, independen dari pemerintah pusat. Oleh karena itu pemberian penghargaan kepada Wenda adalah urusan Dewan Kota Oxford.
Wenda memang aktif mengampanyekan kemerdekaan Papua saat bermukim di Oxford. Pada 1 Mei 2013, ia mendirikan kantor Gerakan Papua Merdeka di Oxford. Tujuannya, kata Wenda, adalah untuk memberikan pemahaman kepada rakyat Indonesia dan dunia internasional mengenai alasan orang-orang Papua ingin merdeka.
Dalam website pribadinya (kini diblokir pemerintah), Wenda menulis, ia pernah ditangkap dan ditahan di Jayapura pada Juni 2002. Sebelum itu, kata dia, rumahnya digeledah aparat tanpa surat perintah.
Penangkapan itu, menurut Wenda, didasari tuduhan bahwa ia menghasut massa untuk melakukan serangan ke kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura pada 7 Desember 2000. Insiden itu menewaskan seorang polisi dan satu petugas keamanan.
Pada 27 Oktober 2002, Wenda melarikan diri dari penjara Abepura berkat bantuan dari aktivis kemerdekaan Papua. Wenda kemudian diselundupkan ke Papua Nugini. Lalu, dengan dibantu oleh LSM di Eropa, ia melakukan perjalanan ke Inggris. Di Inggris, ia mendapatkan suaka politik. pada tahun 2003, Benny dan istrinya Maria bersama anak-anak mereka mulai tinggal di Inggris.
Pada 2011, Pemerintah Indonesia sempat mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Wenda melalui interpol. Langkah itu, kata Wenda, adalah cara Pemerintah RI mencegahnya agar tidak mengampanyekan penentuan nasib sendiri bagi Papua di dunia internasional. Namun, pada 2012, Interpol menghapus nama Benny Wenda dari daftar red notice-nya, sehingga ia bisa bebas bepergian ke luar negeri kembali.
Dalam laporan Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2019, Benny Wenda mengakui ia mengeluarkan surat edaran untuk mengimbau agar rakyat Papua tak mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2019. Selain itu, ia juga menyatakan kasus rasisme ke mahasiswa asal Papua di Surabaya, Jawa Timur, merupakan momentum yang menyatukan rakyat Papua.
Melalui siaran persnya, pada 20 Agustus 2019, Wenda juga sudah menyatakan keprihatinannya atas situasi yang dialami mahasiswa asal Papua di Semarang, Malang, Surabaya, Ambon, Ternate dan Sulu-Maluku pada beberapa waktu lalu.
Ia menyebut, situasi yang dialami oleh mahasiswa Papua di Malang, Semarang dan Surabaya, merupakan gambaran kecil apa yang dipratikkan pemerintah RI kepada bangsa Papua selama 56 tahun ini. Hal ini, kata dia, sebagaimana juga pernah dialami rakyat dan pemimpin Indonesia di zaman pemerintahan yang berkuasa sebelumnya.
“Reaksi dan aksi rakyat bangsa Papua di beberapa tempat di West Papua; di Manokwari, Kota Sorong, Sorong Selatan, Jayapura, Kaimana, Bintuni, Serui, Biak, Merauke, Wamena, Nabire dan beberapa tempat lainnya di West Papua merupakan reaksi spontanitas mereka dalam membela harga diri dan martabat orang Papua sebagai manusia ciptaan Tuhan,” kata dia.
“Oleh karena itu, pemerintah Indonesia tidak boleh meresponsnya dengan kekerasan,” imbuh dia.
Wenda juga menuding pemerintah Indonesia melakukan pembungkaman dengan membubarkan serta menangkap 227 orang serta 39 orang yang telah mengalami pemukulan dan pelemparan pada saat mereka melakukan aksi demonstrasi damai, Jumat (15/8/2019) lalu.
“Aksi damai 15 Agustus 2019 dalam rangka memperingati; Perjanjian New York Agreement, 50 tahun Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dan memberikan dukungan kepada para pemimpin Pacifik Islands Forom (PIF) di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019,” ujar Wenda.
Ia pun meminta warga Papua untuk mendukung penuh perjuangan hak penentuan nasib sendiri bagi kemerdekaan dan kedaulatan politik. Hal ini, lanjut dia, sebagai solusi penyelesaian konflik di Papua.
“Saya menyerukan dilakukan mobilisasi dan konsolidasi umum secara damai dan bermartabat di seluruh tanah Papua, Indonesia, dan komunitas internasional,” ujar Wenda.
Di sisi lain, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto menuding Wenda kerap memberikan informasi palsu dan provokatif.
Wiranto menyebut salah satunya adalah narasi yang menyebut Indonesia tidak pernah mengurusi Papua dan Papua Barat. “Seakan-akan kita menelantarkan di sana, seakan-seakan banyak pelanggaran HAM setiap hari. Penyiksaan, pembunuhan, tetapi itu semua kan tidak mungkin,” kata Wiranto saat konferensi pers, Senin (2/9/2019).
Oleh karena itu, kata Wiranto, untuk melawan informasi dari Benny Wenda, perlu ada satu sumber informasi yang aktual.
“Banyak pengalaman yang saya lakukan untuk meyakinkan negara sahabat bahwa pemerintahan Indonesia benar-benar serius terhadap pembangunan Papua dan Papua Barat,” ujar Wiranto. (*)