JAKARTA-Jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta untuk menolak nota keberatan atau eksepsi mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuzy alias Romy yang menjadi terdakwa jual beli jabatan. Dalam tanggapan atas eksepsi Romy, Jaksa KPK mengingatkan mantan Sekjen PPP itu tidak membawa ajaran agama dalam perkara dugaan suap jual beli jabatan yang menjeratnya.
“Penuntut umum mengingatkan kepada terdakwa agar tidak membawa ajaran agama dalam peristiwa ini,” kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto dalam tanggapan atas eksepsi Romy yang disampaikan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (30/9/2019).
Jaksa Wawan menegaskan, tidak ada agama yang mengajarkan korupsi seperti yang diduga dilakukan Romy. Tidak ada pula agama yang mengajarkan kejahatan tidak ditindak.
“Tidak ada ajaran agama yang mengajarkan perbuatan koruptif dan tidak ada ajaran agama yang mengajarkan bahwa kejahatan tidak boleh ditindak,” tegasnya.
Diketahui, Romy didakwa menerima suap bersama-sama dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebesar Rp 325 juta dari Kepala Kantor Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Rp91,4 juta dari Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi terkait dengan pengangkatan keduanya dalam jabatan masing-masing.
Dalam nota keberatan (eksepsi) yang dibacakan pada Senin (23/9/2019) lalu, Romy mengutip sejumlah ayat Alquran dalam mengungkapkan keberatan atas dakwaan Jaksa.
“Janganlah bersembunyi dengan menggunakan kalam Allah SWT dan hadis Nabi Muhammad SAW untuk membenarkan atau menjustifikasi perbuatan yang batil,” kata Jaksa Wawan.
Dalam eksepsinya, Romy mengutip surah Alhujurat Ayat 12 untuk mengungkapkan tentang mencari mencari kesalahan saudaranya yang ditujukan kepada KPK. Romy menyebut KPK telah mencari-cari kesalahannya. Menjawab hal ini, Jaksa Wawan meyakini, pihaknya telah menjauhkan diri dari hal yang dituduhkan Romy. Dikatakan, menjalankan tugas sebagai penuntut umum, termasuk dalam mendakwa Rommy di pengadilan adalah tugas berat yang dipertanggungjawabkan secara profesi dan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
“Untuk itu dalam menjalankan tugas tesebut, penuntut umum harus berhati-hati, profesional, dan tidak menzalimi. Janganlah pula karena sedang terlibat perkara sehingga mencari alasan pembenar dengan berbagai dalil, misalnya terkait dengan politik, perkara kecil, atau mengapa tidak dicegah akan ada pemberian uang,” katanya. (*)