GUBERNUR Jawa Tengah Ganjar Pranowo menduga ada yang mendesain kekacauan di Indonesia.
Mirip CIA pattern 1965, tiba-tiba mahasiswa dan pelajar turun ke jalan. KAMI-KAPPI. Tuntutan nggak jelas, Terfragmentasi. Ngomong “revolusi” tapi nggak tau artinya.
Gerakan kempes karena tidak menyuarakan aspirasi perut rakyat. Ada faksi yang duel demi bela KPK Lama yang mau dirombak.
Free-riders coba hasut TNI-Polri, supaya bertikai. Tension ingin diubah jadi clash. Politik TNI adalah politik negara. Mereka paham ada klik yang ingin adu domba. Jangan-jangan ntar yang menghasut ini akan digilas. Jadi ganjalan Tank Leopard dan Amfibi Arisgator.
Fahri Hamzah menyatakan ada yang ingin membatalkan pelantikan Jokowi-Maruf Amin. “Presiden jangan takut,” tutur Fahri Hamzah.
“Jokowi dilumpuhkan demi Perppu,” sambungnya.
KPK Lama nggak berprestasi. UU KPK membuatnya jadi “Untouchable Supreme Body“. Rakyat sulit mengawasi, maka perlu direvisi.
Bayangan Abraham Samad terasa di rezim KPK lama. Dia orangnya SBY. Di pelantikan pimpinan DPR RI masa bakti 2019-2024, AHY datang dan duduk sederet Ketua Nasdem Surya Paloh.
AHY menjulurkan tangan sambil tersenyum. Ingin nyalamin Ibu Megawati yang baru datang.
Melihat Surya Paloh berdiri, Ibu Megawati buang muka. Dia tolak salaman dengan Surya Paloh dan AHY. Lempar satu batu kena dua ekor burung. Surya Paloh duduk dengan kesal.
Ibu Megawati tidak menyembunyikan split dan dislike-nya. Peta politik berubah. Ada yang ingin menggoyang Poros Mega-Prabowo.
Sedangkan di bursa MPR, sebuah poros baru terbentuk. PKS, Golkar, Demokrat mengusung Bambang Soesatyo. PKS dan Gerindra jalan sendiri. Split. Good bye. Wagub DKI nggak harus dari PKS.
Menghadapi dinamika perubahan geopolitik ini, saya ingat nasehat Ustad Abdul Choir Ramadhan dari HRS Centre.
Dia berkata, “Jika tidak didapati seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya”.
Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)