DATA dari sebuah situs analisa media sosial (medsos) mengatakan para buzzer atau influencer pro-Pemerintah Indonesia tak banyak terlibat dalam percakapan medsos tentang pembantaian di Wamena, Papua. Mereka lebih tertarik pada isu khilafah.
Hasil pengamatan Drone Emprit, sistem yang memonitor dan menganalisa media sosial serta platform online berbasis teknologi big data, menyebut percakapan tentang Papua di media sosial Twitter mengarah ke tiga topik, yakni Wamena, IDIBerduka, dan West Papua.
Dari ketiga topik itu, kata Ismail Fahmi -pendiri Drone Emprit, ada tiga cluster atau kelompok besar yang muncul ketika diidentifikasi dalam sebuah peta Analisa Jaringan Sosial (SNA). Mereka adalah cluster publik, oposisi dan pro West Papua (Papua Barat).
Kelompok oposisi adalah mereka yang banyak mengkritisi kebijakan Presiden Jokowi atau Pemerintah Indonesia dalam setiap postingan Twitter-nya.
Kelompok pro West Papua adalah mereka yang menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan mendukung referendum.
Sementara cluster publik muncul karena mereka tidak tergolong oposisi, dan menurut Ismail, tak tampak akun top buzzer pro Pemerintah Indonesia di kelompok itu.
Peta SNA yang berisi simpul titik dengan berbagai warna tersebut menggambarkan tentang bagaimana sebuah hoaks (kabar bohong) berasal, menyebar, siapa influencer pertamanya, dan asal kelompoknya.
Dalam analisanya, Drone Emprit menggunakan keahlian Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) dan Natural Learning Process (NLP atau proses pembelajaran alami).
Hasil analisa mereka selama periode 26-28 September 2019 mengatakan tren dengan kata kunci ‘Wamena’ meningkat sejak 27 September.
Sedangkan ‘IDIBerduka’, yang dipicu meninggalnya dokter Soeko Marsetiyo, mulai melonjak malam hari menjelang 28 September.
Di sisi lain, postingan Twitter teratas soal Wamena banyak membicarakan tentang peristiwa 23 September ketika 32 nyawa melayang, aksi pembakaran mobil dan rumah terjadi, serta meninggalnya dokter Soeko.
“Kita zoom cluster publik. Top influencernya @AhlulQohwah, @ReyhanIsmail_, @antilalat. Mereka menyuarakan masalah Wamena dan IDIBeduka.
Akun top buzzer pro pemerintah spt yg mucul saat membahas “khalifah” tak tampak di custer ini,” tulis Ismail dalam cuitan di tanggal 28 September.
“Zoom cluster Oposisi. Mereka ternyata banyak membahas Wamena, spt oleh @andre_rosiade, @AzzamIzzulhaq, @Dandhy_Laksono, dll. Mereka juga mengangkat tagar #IDIBerduka, seperti oleh @LisaAmartatara3, @R4jaPurwa, dll.”
“Posisi @Dandhy_Laksono bukan dalam cluster oposisi, apalagi pemerintah. Dia di luar cluster mainstream,” tambah Ismail dalam postingan berserinya tentang Papua.
“Kita zoom cluster Pro West Papua. Mereka lebih banyak membahas “West Papua”. Dengan top influencer @VeronicaKoman, @PurePapua, @FreeWestPapua, @BennyWenda, dll.”
“Dari peta SNA tersebut, ketika publik dan oposisi banyak menyuarakan soal Wamena dan IDIBerduka, kita tak menemukan akun-akun top buzzer pro pemerintah seperti saat mereka membahas khilafah,” cuitannya per tanggal 28 September.
External Link: Ismail Fahmi
ABC menghubungi pemilik akun Twitter @Dennysiregar7, salah satu influencer pro Pemerintah Indonesia yang disebut Ismail.
Dalam postingannya tertanggal 29 September, Denny memang mengakui bahwa dirinya menahan diri untuk tidak berkomentar tentang kerusuhan Wamena.
“Ingin rasanya menulis pandangan pribadi tentang situasi di Wamena.. Tapi saya tahan, karena keamanan disana sangat rentan dan korban sudah banyak berjatuhan. Diam lebih baik dan percayakan pada keamanan. Doakan saja yang terbaik supaya semua cepat pulih seperti sediakala..,” tulis Denny dalam cuitannya.
Ia berpandangan kondisi di Wamena berbeda dengan konflik-konflik lainnya.
“Wamena ini sedang di-framing, ada pembantaian, atau Hidayat Nurwahid bilangnya genosida dari penduduk asli Papua dengan pendatang, bahkan framingnya itu sudah mengarah ke kesukuan, pembantaian suku pendatang dan juga malah makin menyempit lagi kepada agama,” tuturnya kepada ABC.
Denny menuding ada kelompok-kelompok yang ingin memperuncing situasi supaya mengundang komentar terhadap situasi yang berlangsung.
“Tujuannya mereka itu hanya supaya komentar itu mengarah bahwa ini adalah perang antar suku dan agama, konflik horizontal.”
“Makanya saya bilang saya menahan diri untuk bicara itu karena saya tahu kalau kemudian nanti kita akhirnya fokus kepada peristiwa di Wamena, yang memang yang menjadi korban adalah para pendatang, itu akan membangun api lebih besar sebenarnya di sana.”
“Terutama di para suku yang ada di pendatang itu yang merasa bahwa bagian daripada mereka menjadi korban.”
Denny tak menampik bahwa ia merasa dipancing untuk vokal mengomentari kerusuhan Wamena seperti terhadap isu-isu lain yang menyudutkan Pemerintah Indonesia.
“Mereka itu ingin saya mengutuk orang Papua, yang disebut vokal buat mereka itu mereka ingin saya mengutuk orang Papua, yang membantai orang-orang yang pendatang.”
“Kenapa? karena ketika berbicara saya selalu mengkritik orang-orang Islam garis keras. Nah ini sekarang yang terbantai orang Islam, ‘kenapa kok kamu sekarang tidak vokal kepada orang Kristen yang bantai orang Islam?’ itu framingnya mereka.”
Ia mengatakan banyak netizen yang berkomentar kepadanya ‘tuh kamu selalu bicara radikal, teroris, yang selalu yang melakukannya orang-orang Islam. Nah sekarang orang-orang non-Muslim yang melakukan itu kenapa kok kamu tidak kemudian bilang bahwa mereka radikal?’.
Atas komentar-komentar itulah Denny mengungkap ia makin tak ingin terlibat dalam percakapan soal Wamena.
Ia juga mengatakan dirinya memiliki beberapa teman di media sosial yang selalu rutin bertemu dan berbicara untuk menyatukan pandangan, termasuk untuk soal isu Wamena.
“Karena menjaga Wamena sama dengan menjaga NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) sebenarnya. Kita tujuannya bukan Jokowi kok.”
“Jokowi ini adalah pemerintahan yang sah yang harus kita lindungi, bukan jokowinya tapi posisi dia sebagai pemerintahan yang sah,” sebut Denny.
Percakapan alami
Kepada ABC, Ismail menjelaskan tipe percakapan dalam topik Wamena tergolong alami. Dibandingkan dengan topik bertanda pagar parade tauhid dan 212carimuka misalnya, perbedaan interaksinya sangatlah jauh.
“Itu artinya untuk parade tauhid dan 212 carimuka mereka harus banyak ngirim tweet dalam waktu yang singkat supaya tagar itu muncul.”
“Sementara kalau terkait dengan Wamena dan IDIBerduka, tak perlu banyak-banyakan tweet cukup beberapa orang. Tapi itu diretweet begitu banyak.”
Menurut Ismail, banyaknya netizen yang tak mengetahui kondisi Wamena secara langsung namun di sisi lain merasa tersentuh dan peduli bisa jadi alasan mengapa postingan bertopik Wamena di-retweet.
“Nah dari sedikit (kemudian) di-retweet banyak makanya interaksinya sangat tinggi,” ujarnya ketika dihubungi ABC.
Kebalikannya, lanjut Ismail, topik dengan interaksi rendah memiliki agenda untuk mengangkat kampanye tanda pagarnya agar melambung tinggi.
“Jadi itu lebih seperti propaganda, mengandung bot, mengandung program atau mungkin menggerakkan orang ramai-ramai. Jadi sengaja mereka,” sebutnya.
Septiadji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengatakan informasi terverifikasi tentang isu Papua sangatlah terbatas, sehingga diskusi yang beredar sejauh ini lebih banyak membicarakan asumsi.
“Tetapi memang seperti isu yang di Wamena itu, itu kan memang ada pantikan ya, ada salah kata yang diterima kemudian memantik sebuah demo yang kemudian juga berujung kekerasan.”
“Itu sebenarnya potensi semacam itu juga sempat terjadi di daerah lain tidak hanya di Papua, karena memang isunya kalau saat ini adalah isu ketika literasi digital masyarakat itu masih rendah kemudian juga adanya polarisasi masyarakat yang terjadi akibat isu politik ya,” jelasnya kepada ABC. (ABC)