PEMERHATI sejarah dan budaya, Ridwan Saidi, mengaku hanya ingin meluruskan sejarah di Indonesia saat melontarkan pernyataan yang viral di media sosial baru-baru ini.
Salah satunya, Ridwan mengklaim kerajaan Sriwijaya fiktif belaka. Ridwan menuding kerajaan Sriwijaya hanya kelompok bajak laut yang dibesar-besarkan.
Ridwan menegaskan sejarah di Indonesia bukan diawali oleh masuknya agama Hindu dan Buddha melalui kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara. Ia merasa ajaran Islam sudah lebih dulu masuk ke Indonesia.
Ia menuding ada skema sejarah yang dibuat-buat oleh kolonial Belanda di masa penjajahan. Menurut dia, kesalahan sejarah itu malah dipertahankan hingga saat ini.
“Sejarah Indonesia enggak pernah diawali Hindu dan Buddha. Sriwijaya kerajaan pembawa Buddha, Tarumanegara Hindu itu teorinya Belanda, itu enggak benar. Sriwijaya itu enggak ada, yang ada kerajaan Islam Palembang abad ke-8 kemudian jadi kesultanan Islam Palembang, itu ada kenapa ditutupin,” katanya.
Beberapa bukti Kerajaan Sriwijaya
Bukti Kerajaan Sriwijaya, selama ini tertera berdasarkan tujuh prasasti yang ditemukan di Palembang, Pulau Bangka, Lampung dan Jambi, serta di Thailand dan Nalanda, India.
Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini yang menjadi patokan adanya Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Prasasti yang ditulis dalam Bahasa Melayu dengan huruf Pallawa ini ditemukan di 35 Ilir Palembang. Isinya menceritakan Dapunta Hyang melakukan perjalanan suci dan menaklukkan sejumlah wilayah, yang kemudian mendirikan sebuah wanua atau kota di lokasi prasasti. Prasasti dibuat pada 682 Masehi.
Prasasti Talang Tuwo. Prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Melayu dengan hurup Pallawa ini berangka tahun 684 Masehi, ditemukan pada 1920 di Talang Tuwo, Talang Kelapa, Palembang. Isinya tentang perintah terhadap manusia untuk menjaga keseimbangan alam melalui pembangunan Taman Sri Ksetra.
Prasasti Telaga Batu. Ditemukan di sekitar Kuto Gawang, 3 Ilir, Palembang, pada 1935. Ada dua Prasasti Telaga Batu ini. Isinya tentang struktur pemerintahan dan masyarakat, serta kutukan terhadap mereka yang berbuat jahat di Kedatuan Sriwijaya. Ditulis dalam Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa. Pada saat itu juga ditemukan 30 buah Prasasti Siddhayatra.
Prasasti Kota Kapur. Prasasti ini ditemukan pada 1892 di Kota Kapur, Pulau Bangka. Ditulis menggunakan bahasa Melayu dan aksara Pallawa. Isinya, kutukan terhadap mereka yang melanggar atau berkhianat dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti Palas Pasemah. Ditemukan di Desa Palas Pasemah, Lampung Selatan, Lampung. Diduga dibuat abad ke-7, menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa. Isinya sama seperti Prasasti Kota Kapur, kutukan terhadap mereka yang tidak tunduk dengan Sriwijaya.
Prasasti Hujung Langit. Ditemukan di Desa Haur Kuning, Lampung. Ditulis menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa pada 997 Masehi. Namun, isinya sulit dibaca karena mengalami kerusakan.
Prasasti Berahi. Prasasti menggunakan Bahasa Melayu dengan aksara Pallawa ini, ditemukan di tepi Sungai Batang Merangin, Karang Berahi, Merangin, Jambi, pada 1904. Isinya sama seperti Prasasti Kota Kapur, Palas Pasemah, yakni tentang kutukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan atau tidak setia dengan Raja Sriwijaya.
Prasasti Ligor. Prasasti ini ditemukan di Nakhon Si Tahmmarat, Thailand. Prasasti yang kemungkinan dibuat pada 775 Masehi ini memiliki dua sisi. Sisi pertama menyebutkan Prasasti Ligor atau manuskrip Viang Sa yang menyebutkan raja semua raja di dunia. Sisi kedua tentang pemberian gelar Visnu Sesawarimadawimathana untuk Sri Maharaja. Prasasti ini menggunakan aksara Kawi.
Prasasti Leiden. Prasasti ini ditulis menggunakan Bahasa Sansakerta dan Tamil pada lempengan tembaga yang menyebutkan hubungan baik Dinasti Chola dari Tamil dengan Dinasti Syailendra dari Sriwijaya.
Bukti lainnya, seperti catatan I-Tsing, seorang biksu Buddha yang melakukan perjalanan ke Kerajaan Sriwijaya pada 651 Masehi. Perjalanannya dari Guangzhou, Tiongkok, ke Sriwijaya selama 20 hari. Lalu, berita dari Arab yang mengisahkan Raja Sriwijaya yang kaya emas, serta korespondensi Raja Sriwijaya di masa Sri Indravarman dengan kekhalifahan Umar bin Abdul Azis. (*)