ADALAH suatu kesalahan besar saat Joseph Malik, editor dari sebuah majalah radikal, mencoba untuk masuk menelusuri kebenaran dari rumor-rumor yang beredar selama ini soal adanya sebuah kelompok rahasia yang masih bertahan dan berpengaruh besar. Demikian The Illuminatus! Trilogy – Robert Shea & Robert Anton Wilson.
Novel trilogi ini pertama kali terbit pada tahun 1975 dengan menyajikan cerita fiksi yang mengandung unsur teori konspirasi postmodren dan fiksi ilmiah. Shea dan Wilson membuat fiksi ini terlihat seperti humor konspirasi, terutama yang menyangkut masalah Illuminati yang menggabungkan masalah budaya, agama (discordianism), dan numerologi.
Buku ini telah memengaruhi beberapa penulis modern, musisi dan pembuat game. Dan buku ini memiliki tiga trilogi yang terdiri dari The Eye in the Pyramid , The Golden Apple , dan Leviathan.
Meski sebuah novel, kisah itu merupakan sebagian teori konspirasi yang hingga hari ini masih dipercaya banyak orang, terkait keberadaan narasi Illuminati.
Teori konspirasi mengenai Illuminati berdasarkan dugaan bahwa anggotanya terdiri atas orang kaya yang diam-diam mengontrol dunia. Miliarder seperti George Soros, Mark Zuckerberg, hingga keluarga Rotchschild santer disebut sebagai anggota.
Bagaimana sejarahnya?
Dalam riwayat yang dihimpun dari berbagai literasi, pertemuan pertama Illuminati adalah pada 1 Mei 1776. Pelopornya adalah Adam Weishaupt, pria kelahiran Bavaria yang juga seorang profesor hukum kanonik di Universitas Ingolstadt.
Weishaupt mendirikan Illuminati sebagai sarana untuk mendukung pikiran bebas. Menurutnya, penguasa dan gereja zaman itu menekan kebebasan berpikir, sehingga tak cocok untuk pemerintahan modern.
Illuminati sendiri berasal dari bahasa latin, yakni illuminatus, yang berarti tercerahkan. Tujuannya perkumpulan rahasia tersebut adalah mendukung kebebasan, kemanusiaan, perlindungan dari prasangka, dan reformasi kemasyarakatan.
Ordo Illuminati pun semakin populer, Mayer Amcschel Rothschild (banker) dan Baron Adolph von Knigge (bangsawan) ikut bergabung. Akan tetapi, para dokter, pengacara, ahli hukum, politisi, dan kaum intelektual juga tertarik bergabung, termasuk sastrawan Johann von Goethe.
Von Knigge merupakan mantan anggota Freemason, sehingga membawa kultur Freemason seperti memberikan nama julukan. Hierarkis Illuminati juga cukup rumit dan terbagi menjadi tiga kelas yaitu: illuminatus minor, lalu illuminatus dirigens, dan terakhir, Raja.
Pada akhir 1784, Illuminati sudah memiliki 2.000 hingga 3.000 anggota. Namun, perkumpulan rahasia ini bocor ke pemerintah dan akhirnya berujung pembubaran.
Weishaupt dan Knigge sering bertikan karena urusan prosedur. Akibatnya, Knigge keluar dari Illuminati.
Ada pula Joseph Utzchneider, mantan anggota Illuminati yang membongkar kerahasiaan ordo kepada Grand Duchess dari Bavaria. Utzschneider mencampur aduk kebenaran dan kebohongan dalam suratnya, serta menuduh Illuminati berkonspirasi melawan pemerintah.
Pada bulan Juni 1784, pemerintah akhirnya mengeluarkan maklumat untuk melarang perkumpulan yang belum disetujui hukum. Awalnya, Illuminati mengira tidak akan terimbas keputusan itu.
Ternyata, pemerintah Bavaria terang-terangan melarang Illuminati pada Maret 1785.
Ide-ide Bavaria mengenai ateisme, bunuh diri, hingga aborsi dinilai menentang agama dan pemerintahan. Pada Agustus 1787, para anggota Illuminati pun terancam hukuman mati.
Weishaupt kehilangan jabatannya di Universitas Ingolstadt dan diasingkan ke ke Gotha, Saxony. Beruntung, ia mendapat karier di Universitas Göttingen untuk mengajar filsafat.
Weishaupt wafat pada 18 November 1830 di Gotha.
Meski pemerintah Bavaria berhasil membubarkan Illuminati, bermacam konspirasi tetap muncul yang menyebut Illuminati berada di balik insiden besar dunia seperti Revolusi Prancis hingga pembunuhan Presiden John F. Kennedy.
Sampai sekarang, kisah Illuminati masih terus “menjual”. Ambil contoh banyaknya buku konspirasi Illuminati yang dikaitkan dengan agama, hingga novel.
Benarkah demikian?
Freemason, yang kerap dihubungkan dengan Illuminati dan teori konspirasi, pada kenyataannya pernah tumbuh dan berkembang di tanah air pada masa Hindia Belanda.
Perkumpulan Freemasonry masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya para serdadu Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Sejarawan TH Stevens dalam bukunya “Tarekat Mason Bebas Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962”, menulis, sebelum 1756, anggota Freemasonry dari Belanda sudah banyak yang menetap di Indonesia Hindia Belanda.
Namun saat itu secara kelembagaan, Freemasonry belum terbentuk. Baru setelah anggota Freemasonry dari Inggris masuk, lembaganya mulai berdiri.
Bukti kedatangan Freemasonry bersama VOC ini, jejaknya masih ada, bangunan tua Museum Kota Bandung adalah bekas Frobelschool (taman kanak-kanak) yang didirikan oleh perkumpulan Freemasonry Bandung. Loji atau tempat pertemuan mereka bernama Loji Sint Jan yang terletak di Jalan Wastukancana, tak jauh dari lokasi Museum Kota Bandung sekarang, dan telah berubah menjadi Masjid Al-Ukhuwwah.
Menurut M. Ryzki Wiryawan dalam Okultisme di Bandoeng Doeloe (2014) Loji Sint Jan merupakan Loji Freemasonry ke-13 yang didirikan di Hindia Belanda pada 1896. Dulu, jalan di depan loji ini dulu bernama Logeweg.
Kemudian, di bibir pantai utara Jawa Barat. Keindahan Makam Sunan Gunung Jati terlihat karena dikelilingi oleh tembok berwarna putih yang dihiasi ribuan keramik berusia ratusan tahun. Dan, di salah satu pojoknya terdapat keramik yang memuat lambang organisasi Freemason.
Keramik yang berwarna kuning dan bergambar bunga-bunga tersebut terpasang pada tugu pertama pintu sebelah kiri makam. Lambang mistar dan jangka serta huruf G nampak di bagian pinggir keramik.
Filolog Cirebon, Raffan Safari Hasyim mengatakan keberadaan keramik berlambang Freemason di Makam Sunan Gunung Jati tidak ada sangkut paut atau hubungan dengan organisasi persaudaraan. Dimungkinkan juga, ketika masa itu masyarakat Cirebon belum mengenal organisasi tersebut.
Gerakan organisasi persaudaraan Freemason erat kaitannya dengan keberadaan loji atau benteng. Karena pada dasarnya organisasi tersebut tidak mempunyai pusat.
Raffan menerangkan loji atau benteng di Kota Cirebon didirikan oleh para pedagang Eropa pada akhir abad ke-17. Loji ketika itu berfungsi sebagai kantor pemerintahan, kantor urusan dagang, urusan kenegaraan, dan lainnya.
“Lokasi loji, disekitar gedung British American Tobbacos (BAT). Makanya ada nama Jalan Benteng,” ucapnya kepada beritaradar.com (7/9).
Dia pun menduga keramik berlambang Fremason di Makam Sunan Gunung Jati ada hubungannya dengan monopoli dagang pedagang Eropa. “Tahun 1681 ada perjanjian, waktu itu sudah ada monopoli dagang. Bisa jadi, ada penjualan keramik dan hasil bumi harus dijual ke pedagang Belanda,” pungkasnya.
Tidak hanya di Makam Sunan Gunung Jati. Jaringan portal beritaradar.com, laman radarcirebon.com juga berusaha menelusuri keberadaan organisasi Freemason, yang kerap dihubungkan dengan Illuminati, cerita Iluminati di wilayah Cirebon.
Keberadaan kuburan Belanda dengan simbol Illuminati di atas bangunan makam, bekas lahan Pabrik Gula (PG) Gempol di Kabupaten Cirebon. Tepatnya berada di Desa Balerante, Kecamatan Palimanan, Kabupaten Cirebon.
Makam yang disinyalir sudah ada sejak 1907 itu kini dalam kondisi yang tidak terawat.Sebelum PG Gempol diambil alih oleh PG Rajawali, banyak keluarga dari Belanda berkunjung ke area pabrik. Selain berziarah ke makam, mereka juga menghadiri acara tradisi Pesta Giling Tebu.
Dalam acara budaya tersebut, warga bersama keluarga dari Belanda beramai-ramai membersihkan seluruh area PG Gempol. Termasuk, areal pemakaman yang di dalamnya terdapat simbol Ilmunati. Namun, kondisi berubah setelah tradisi itu tidak lagi dilangsungkan.