PALU-Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah mengingatkan masyarakat di Kota Palu dan kabupaten/kota di provinsi tersebut terhadap ancaman gempa megathrust dan tsunami di masa depan. Hal ini mengacu dari kajian sejumlah ahli dari Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Ancaman gempa yang mengakibatkan tsunami dimaksud bukan hanya karena pergerakan Sesar Palu-Koro saja, tetapi ada sesar lainnya.
Pada 2018, pergerakan Sesar Palu-Koro menghasilkan gempa bermagnitudo 7,4 lalu mengakibatkan tsunami dan likuefaksi yang kemudian meluluhlantakkan Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong.
“Ada kemungkinan juga dari Sesar Makassar Strait yang berada di bawah laut atau gempa megathrust di Utara Sulawesi,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemprov Sulteng, Haris Kariming di Palu, dikutip dari ANTARA, Senin (9/9).
Pernyataan Haris itu mengacu pada surat Kementerian PPN/Bappenas nomor 10716/Dt.6.1/08/2019 perihal Penyampaian Rekomendasi Ahli Nasional tentang Perlindungan Pesisir Palu Terhadap Ancaman Tsunami, Gempa bumi dan Likuefaksi yang ditandatangani Direktur Pengairan dan Irigasi selaku Ketua Kelompok Kerja II Bidang Pemulihan Infrastruktur Wilayah Bappenas, Abdul Malik Sadat Idris.
Untuk itu Haris mengimbau masyarakat agar tidak perlu khawatir apalagi takut dengan ancaman gempa disusul tsunami tersebut, sebab diprediksi tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
“Para ahli menyatakan bahwa potensi kejadian gempa besar dalam jangka puluhan tahun mendatang bersumber dari segmen lain, bukan dari segmen gempa yang sudah melepaskan akumulasi tegangan tektoniknya,” ujarnya.
Karenanya, lanjut Haris, upaya mengurangi resiko terhadap ancaman atau mitigasi bencana deformasi sesar di permukaan dan seismic hazard sangat diperlukan mengingat bencana alam merupakan proses yang sangat dinamis dan upaya mitigasi menjadi penuh ketidakpastian.
Ketidakpastian ini dapat diperkecil melalui riset untuk memahami kejadian sebelumnya dan juga mengantisipasi kejadian di masa depan. Apalagi kejadian gempa dan tsunami pada 2018 lalu telah mengubah peta sesar aktif 2017 sehingga diperlukan revisi peta seismic hazard.
“Selanjutnya diperlukan penelitian geologi gempa bumi secara mendalam untuk mengetahui aktivitas sesar-sesar aktif,” kata Haris. (Antara)