JAKARTA–Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial menyebutkan pemerintahan Joko Widodo dinilai kurang perhatian terhadap modernisasi alat utama sistem persenjataan (Alutsista) yang dimiliki TNI saat ini.
“Soal anggaran, memang di era Jokowi ada peningkatan anggaran pertahanan yang cukup signifikan. Misalnya, pada tahun 2014 catatan kami itu ada Rp 86 triliun, sementara tahun 2019 ini tercatat Rp108 triliun. Itu artinya lebih dari 25 persen naiknya dari awal sampai sekarang. Bahkan tahun depan diprediksi mencapai Rp 127 triliun,” kata peneliti senior Imparsial, Anton Aliabbas saat jumpa pers terkait Peringatan HUT Ke-74 TNI, di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan.
Namun sayangnya, lanjut dia, ketika anggarannya sudah naik tidak ada arah yang jelas bagaimana di era Jokowi ini melakukan modernisasi alutsista.
Dia menyebutkan ada ada tiga komponen dalam anggaran pertahanan. Pertama, adalah anggaran rutin, gaji dan lain-lain.
kedua adalah anggaran belanja barang mencakup penggunaan barang dan lain-lain; ketiga belanja modal, terkait pembelanjaan alutsista.
“Kalau saya mencoba membandingkan, benang merahnya, Pak SBY pada tahun 2013-2014 itu sangat terlihat, bahwa anggaran rutin memang selalu menjadi pos pertama. Perbedaannya antara Jokowi dan SBY adalah di era Pak SBY anggaran pembelanjaan modal itu menjadi nomor dua terbesar. Jadi pada tahun 2013, anggaran rutinnya ada di Rp 33,5 triliun di anggaran modalnya ada di 25,7 triliun,” kata Anton.
Sementara di era Jokowi saat ini, ketika ada lonjakan anggaran yang cukup tinggi dan signifikan, tetapi sayangnya anggaran belanja modal menjadi komponen nomor 3.
“Bahkan catatan kami di tahun 2018 justru sangat rendah terkait belanja modal, karena di tahun sebelumnya di 2017 itu sekitar Rp33.4 triliun dan di tahun 2018 justru cuma setengahnya Rp19,1 trilyun. Itu jadi problem utama, kami melihat pertama bahwa ada lonjakan anggaran pertahanan yang cukup signifikan, tapi tidak ada konsep, tidak ada panduan, visi yang jelas sehingga tidak ada arah,” katanya.
Hal lainnya, kata Anton, adalah terkait manajemen personel karena belakangan sempat ada kabar terkait kebangkitan dwifungsi TNI akibat banyak perwira tinggi dan perwira menengah tidak memiliki jabatan alias nonjob.
Dia menambahkan, para aktivis khawatir terkait jabatan dwi fungsi TNI semakin nyata, karena ternyata banyak juga perwira aktif yang menduduki jabatan sipil.
“Saat ini ada perwira aktif yang menduduki jabatan di Kementerian ESDM. Padahal kita tahu bahwa ESDM tidak termasuk jabatan yang boleh dimasuki oleh TNI,” ucapnya. (jpnn)