JAKARTA-Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) gagal mencapai empat target ekonomi makro yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, indeks pembangunan manusia, hingga tingkat pengangguran.
Hal ini diungkapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro usai Sidang Kabinet Paripurna terakhir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (3/10) kemarin.
Pertama, dari sisi pertumbuhan ekonomi. Dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat mulai 2015-2016. Pada 2017, ekonomi diperkirakan sudah mencapai kisaran 7,1 persen. Lalu, melaju di kisaran 7,5 persen pada 2018 dan 8 persen pada 2019.
Nyatanya, ekonomi domestik hanya mampu melaju di angka 4,79 persen pada 2015, 5,02 persen pada 2016, 5,07 persen pada 2017, dan 5,17 persen pada 2018. Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi baru mencapai kisaran 5 persen. Bahkan, per semester I 2019, ekonomi cuma tumbuh di kisaran 5,06 persen.
“Memang ini lebih rendah dibandingkan RPJMN lima tahun sebelumnya (2010-2014) yang rata-rata mendekati 5,5 persen sampai 6 persen,” ucap Bambang.
Menurut Bambang, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 2010-2014 berhasil lebih baik dari periode 2015-2019 karena didukung oleh tingginya harga komoditas di pasar internasional. Hal tersebut membuat sumbangan ekonomi dari kegiatan ekspor cukup tinggi.
“Ketika kabinet ini dimulai, kita tahu bahwa booming harga komoditas sudah berakhir dan akibatnya, kita (Indonesia) tumbuh di kisaran 5 persen, yang mungkin dianggap lebih rendah, tetapi paling tidak termasuk relatif tinggi untuk ekonomi sebesar Indonesia,” terangnya.
Beruntung, pertumbuhan ekonomi nasional masih berada di atas negara-negara lain. Indonesia, katanya, hanya kalah dari China dan India yang tumbuh di kisaran 6 persen.
Kedua, tingkat kemiskinan. Dalam RPJMN 2015-2019, tingkat kemiskinan diproyeksi menurun ke kisaran 7 persen sampai 8 persen pada penghujung tahun ini. Sementara per Maret 2019, tingkat kemiskinan masih berada di angka 9,41 persen. Bahkan, proyeksi Bambang, kemiskinan hanya akan mentok di kisaran 9,2 persen pada akhir tahun ini.
Ketiga, tingkat ketimpangan alias gini ratio. Semula pemerintah memperkirakan gini ratio bisa mencapai 0,36 pada akhir tahun ini. Namun, per Maret 2019 baru mencapai 0,382.
“Ini belum mencapai, namun terpenting trennya sudah kami bangun. Trennya menjauh atau lebih rendah,” klaimnya.
Keempat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah semula memperkirakan IPM bisa mencapai 76,3 pada 2019. Sayangnya, IPM baru mencapai angka 71,3 pada akhir 2018. Bambang sendiri memperkirakan capaian IPM Indonesia hanya mencapai 72 pada akhir tahun ini.
Kendati sejumlah indikator meleset dari target, namun menurutnya, pemerintah setidaknya mampu memenuhi target inflasi. Per September 2019, inflasi berada di kisaran 3,39 persen per September 2019. Angka ini berada dalam target RPJMN 2015-2019 di kisaran 3,5 persen sampai 5 persen.
Nyatanya, ekonomi domestik hanya mampu melaju di angka 4,79 persen pada 2015, 5,02 persen pada 2016, 5,07 persen pada 2017, dan 5,17 persen pada 2018. Secara rata-rata, pertumbuhan ekonomi baru mencapai kisaran 5 persen. Bahkan, per semester I 2019, ekonomi cuma tumbuh di kisaran 5,06 persen.
“Memang ini lebih rendah dibandingkan RPJMN lima tahun sebelumnya (2010-2014) yang rata-rata mendekati 5,5 persen sampai 6 persen,” ucap Bambang.
Menurut Bambang, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode 2010-2014 berhasil lebih baik dari periode 2015-2019 karena didukung oleh tingginya harga komoditas di pasar internasional. Hal tersebut membuat sumbangan ekonomi dari kegiatan ekspor cukup tinggi.
“Ketika kabinet ini dimulai, kita tahu bahwa booming harga komoditas sudah berakhir dan akibatnya, kita (Indonesia) tumbuh di kisaran 5 persen, yang mungkin dianggap lebih rendah, tetapi paling tidak termasuk relatif tinggi untuk ekonomi sebesar Indonesia,” terangnya.
Beruntung, pertumbuhan ekonomi nasional masih berada di atas negara-negara lain. Indonesia, katanya, hanya kalah dari China dan India yang tumbuh di kisaran 6 persen.
Kedua, tingkat kemiskinan. Dalam RPJMN 2015-2019, tingkat kemiskinan diproyeksi menurun ke kisaran 7 persen sampai 8 persen pada penghujung tahun ini. Sementara per Maret 2019, tingkat kemiskinan masih berada di angka 9,41 persen. Bahkan, proyeksi Bambang, kemiskinan hanya akan mentok di kisaran 9,2 persen pada akhir tahun ini.
Ketiga, tingkat ketimpangan alias gini ratio. Semula pemerintah memperkirakan gini ratio bisa mencapai 0,36 pada akhir tahun ini. Namun, per Maret 2019 baru mencapai 0,382.
“Ini belum mencapai, namun terpenting trennya sudah kami bangun. Trennya menjauh atau lebih rendah,” klaimnya.
Keempat, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pemerintah semula memperkirakan IPM bisa mencapai 76,3 pada 2019. Sayangnya, IPM baru mencapai angka 71,3 pada akhir 2018. Bambang sendiri memperkirakan capaian IPM Indonesia hanya mencapai 72 pada akhir tahun ini.
Kendati sejumlah indikator meleset dari target, namun menurutnya, pemerintah setidaknya mampu memenuhi target inflasi. Per September 2019, inflasi berada di kisaran 3,39 persen per September 2019. Angka ini berada dalam target RPJMN 2015-2019 di kisaran 3,5 persen sampai 5 persen. (*)