JAKARTA-Sepanjang proses pemakaman Presiden RI ke-3 BJ Habibie, tak tampak kehadiran anak-anak dari Presiden RI ke-2 Soeharto. Partai Berkarya memberi penjelasan.
“Semalam saya hadir di rumah duka, ikut salat jenazah. Karangan bunga yang besar dari Partai Berkarya (Tommy Soeharto dan Priyo BS) juga terkirim ke rumah duka. Siang ini saya juga hadir di pemakaman di TMP Kalibata,” kata Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso kepada wartawan, Kamis (12/9/2019).
Priyo mengatakan keluarga besar Partai Berkarya ikut berduka atas meninggalnya BJ Habibie. Priyo mengaku memiliki kedekatan dengan almarhum.
Saat ditanya apakah Tommy Soeharto menghadiri pemakaman Habibie atau absen, Priyo menjawab kalau Tommy sedang tak di Jakarta. “Beliau sedang di luar kota,” ucap Priyo.
Retaknya hubungan BJ Habibie dengan Soeharto terjadi di masa-masa terakhir lengsernya penguasa Orde Baru.
Tanggal 20 Mei 1998 malam, Presiden Soeharto memanggil Wakil Presiden BJ Habibie ke kediamannya di Jalan Cendana Jakarta. Malam itu Soeharto menyampaikan keinginannya untuk mundur sebagai Presiden Indonesia.
BJ Habibie adalah tokoh yang ikut terlibat dalam ketegangan politik tingkat tinggi menjelang 21 Mei 1998, yakni menjelang lengsernya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Malam menjelang tanggal itu, BJ Habibie selaku Wakil Presiden boleh dikata hampir tidak ada waktu tidur. Habibie dalam pusaran detik-detik menegangkan.
Hal itu terungkap dalam buku Haji Harmoko yang bertajuk ‘Berhentinya Soeharto, Fakta dan Kesaksian Harmoko’ yang terbit pada 2008.
“Setelah Wakil Presiden B.J Habibie tiba di rumah kediamannya usai bertemu Presiden Soeharto di Cendana pada tanggal 20 Mei 1998, malam, di rumah Wakil Presiden, empat Menko serta sejumlah menteri telah menanti, dan B.J Habibie menguraikan segala hasil tukar pikiran dengan Presiden sejujurnya, dan ia mengalami _”shock”_ dalam hal itu,” begitu ujar Harmoko dalam buku tersebut.
Selanjutnya dijelaskan, kesimpulan dalan pertemuan yang berlangsung hingga pukul sekitar 23.00 WIB, bahwa Kabinet dapat diumumkan oleh Presiden Soeharto akan tetapi yang melantik adalah BJ Habibie. Namun, ketika ia bergegas kembali ke kediaman Presiden Soeharto pada malam itu juga untuk menjelaskan kesepakatan di rumah kediamannya, ada penjelasan mendadak dari Mensesneg.
“Mensesneg Sa’adilah Mursyid menjawab, Pak (maksudnya B.J Habibie), semua telah berubah, pukul 22.00 WIB kurang sepuluh menit, saya dipanggil Pak harto. Pak harto yang biasanya konsisten, keras kepala dan kepala batu telah berubah. Bilang sama Habibie pukul 09.00 WIB (besok pagi), Pak Harto akan mundur. persiapkan semua di istana merdeka,” demikian dalam buku Haji Harmoko itu.
Dijelaskan pula, dalam kondisi saat itu, tidak ada pilihan lagi buat Presiden Soeharto, ketika satu-persatu “orang terdekatnya” atau para pembantunya telah “meninggalkannya.”
Suasana di kediaman presiden Soeharto juga dalam keadaan tegang, Probosoetedjo detik perdetik selalu mengikuti perkembangan terakhir dan apa yang terjadi maupun informasi yang didapat selalu disampaikan kepada Presiden Soeharto, termasuk memberikan informasi terkini mengenai tuntunan yang terjadi di DPR. Tentu ini menyangkut pernyataan pimpinan DPR, dan aspirasi yang muncul dari masyarakat dan mahasiswa, yang secara bergelombang datang ke “rumah rakyat” itu. Selain itu juga kabar akan ada orang-orang yang akan bergerak ke Monas, serta perkembangan dari luar negeri.
Dengan kata lain, Menurut Bung Harmoko, dengan telah diminta oleh DPR agar dengan arif dan bijaksana presiden Soeharto mengundurkan diri, ini berarti secara konstitusional telah benar sesuai dengan mekanisme hukum ketatanegaraan. Apalagi presiden Soeharto selalu menekankan pentingnya cara-cara, prosedur dan mekanisme yang konstitusional, dan ini telah dilakukan pimpinan DPR.
Pada malam itu juga, sekitar jam 23.00 WIB, Presiden Soeharto, memerintahkan ajudan untuk memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneng Sa’adilah Mursyid dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, ia (Soeharto) sudah bulat hati untuk menyerahkan kekuasaan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
Panglima ABRI Jenderal Wiranto, sampai tiga kali bolak-balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan presiden Soeharto. Sang jenderal ini perlu berbicara dengan para Kepala Staf angkatan mengenai sikap yang akan diputuskan ABRI dalam mensikapi apa yang telah menjadi keputusan Presiden Soeharto untuk mundur dan menyerahkan kepada wakilnya.
“Usai mencapai kesepakatan dengan Panglima ABRI, Presiden Soeharto kemudian memanggil BJ Habibie.
Pada waktu yang sama, hanya tempat yang berbeda, tanggal 20 mei 1998, malam hari saat kembali dari gedung DPR tiba di rumah, sekitar jam 23.00 WIB, Harmoko dalam penuturannya, ia menerima telepon dari ajudan presiden yang mengemukakan bahwa pimpinan dewan akan diterima konsultasi oleh presiden di istana pada tanggal 21 Mei 1998 jam 09.00 WIB. Saat itu juga, ia mencari tahu dengan menghubungi wakil presiden BJ Habibie. ternyata diperoleh informasi bahwa Presiden akan berhenti pada tanggal 21 mei 1998 dan Wakil Presiden akan mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden.
Dalam bukunya, Haji Harmoko menggambarkan suasana di Istana saat para petinggi negara berkumpul di Istana Merdeka. Suasana kaku dan tegang. Pukul 09.00 Soeharto membacakan pidato kemundurannya dari kursi Presiden. BJ Habibie selanjutnya yang menggantikannya. (*)