JAKARTA-Berita bohong seperti hoax atau hoaks telah menjadi ancaman bagi kehidupan banyak orang sejak dekade terakhir.
Berkembangnya teknologi bernama internet dan media sosial membuat penyebaran informasi-informasi salah semakin tidak karuan.
Parahnya, banyak orang-orang yang terjebak untuk mempercayai informasi-informasi salah tersebut, bahkan bisa terjadi di kalangan terdidik.
Dikutip dari The Guardian, informasi salah bahkan bisa membodohi orang-orang pintar. Dalam sebuah penelitian psikologis, banyak informasi-informasi bohong seperti hoaks dirancang secara cerdik untuk melewati penalaran analitis yang cermat.
Itu artinya membuat informasi tersebut dapat dengan mudah tergelincir di bawah radar bahkan pada orang yang cerdas dan berpendidikan sekalipun.
Seperti sebuah penelitian yang dilakukan Norbert Schwarz dari University of Southern California. Dalam penelitiannya ini ia menanyakan beberapa siswa dengan pertanyaan “berapa banyak binatang yang masuk ke dalam bahtera Musa?”
Ia hanya menemukan 12 persen responden yang menjawab benar, yakni “tidak ada” (karena memang tidak ada bahtera dalam kisah Musa, bahtera merupakan kisah Nuh).
Hal ini karena kebanyakan orang cenderung tidak fokus pada detail terutama ketika sebuah pertanyaan terasa lancar “mudah diproses.”
Menurut Norbert, ini ada kaitannya dengan sifat orang-orang yang “kikir kognitif” yakni kondisi di mana individu memiliki kemampuan otak yang baik namun enggan menerapkannya.
Tidak hanya itu, ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat membuat banyak orang tertipu oleh informasi salah, termasuk hoaks.
Berikut ini beberapa alasan teori digagas para ahli untuk menjawab pertanyaan, “mengapa orang-orang mudah tertipu hoaks?”
Pengulangan informasi secara masif
Pesan hoaks tidak semata-mata dibuat begitu saja, tetapi dirancang dan disebarkan dengan sedemikian rupa agar dapat dipercaya oleh orang-orang.
Satu cara yang paling ampuh untuk menyebarkan informasi yang salah adalah pengulangan sederhana. Media tentu berkontribusi besar dalam penyebarannya.
Menurut para ahli, semakin banyak seseorang mendengarkan ide, semakin besar kemungkinan seseorang mempercayai ide tersebut sebagai hal yang benar. Informasi-informasi ini akan disajikan dalam berbagai media seperti televisi, radio, dan internet.
Dari seluruh terpaan itu, orang-orang mulai melihat bagaimana informasi yang salah dapat direkayasa untuk melewati pemikiran logis dan pertanyaan kritis.
Adanya Efek Barnum
Dalam ilmu psikologi, efek Barnum merupakan fenomena yang terjadi ketika individu percaya bahwa deskripsi kepribadian berlaku khusus untuk orang (lebih daripada orang lain), meskipun fakta bahwa deskripsi sebenarnya diisi dengan informasi yang berlaku untuk semua orang.
Dikutip dari Britannica, efek Barnum dapat menyebabkan orang mudah tertipu karena berpikir bahwa informasi tersebut hanya tentang dirinya.
Efek barnum bekerja paling baik dalam pernyataan positif. Inilah mengapa pesan hoaks sering kali mengandung kalimat-kalimat positif untuk pembacanya.
Beberapa contoh kalimat seperti “Anda adalah seorang pemikir yang bangga melakukan sesuatu yang berbeda dari yang lain” atau “orang lain mungkin tidak pernah berpikir tentang hal (positif) ini, tetapi tidak dengan Anda.”
Seseorang pernah mengalami kesulitan lebih rentan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh University of Liecester ditemukan bahwa orang yang mengalami lebih banyak tragedi dan kesulitan akan lebih mudah ditipu ketika ia tumbuh dewasa.
Misalnya, seseorang yang mengalami perundungan, perceraian, cedera, dan tragedi lainnya akan cenderung lebih mudah mempercayai informasi salah.
Dilansir dari Science Daily, Kim Drake, mahasiswa di Liecester yang terlibat dalam penelitian ini mengatakan, orang-orang yang pernah mengalami kesulitan memang belajar melalui kejadian tersebut.
Sayangnya, orang-orang tersebut kesulitan untuk mempercayai penilaiannya sendiri. Misalnya, seseorang mempercayai suatu informasi sebagai hal yang benar.
Namun ketika ia membaca artikel yang menuliskan informasi tersebut bertentangan dengan pandangannya, ia lebih percaya dengan pandangan orang lain.
“Ini karena orang tersebut mungkin telah belajar untuk tidak mempercayai tindakan penilaian dan keputusan mereka karena fakta bahwa sebagian besar waktu tindakan mereka dianggap mengundang konsekuensi negatif,” kata Kim. (*)