Kabar kepergian presiden ke-3 Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie, pada Rabu (11/9) juga menjadi sorotan media internasional, termasuk dari Singapura. Salah satu media merujuk Habibie sebagai sosok yang menyebut Singapura hanya “titik merah.”
Begitu lekat ingatan Singapura akan terminologi itu, The Straits Times bahkan memberi judul berita mereka “Mantan Presiden Indonesia Habibie, Yang Mendeskripsikan Singapura sebagai ‘Titik Merah Kecil’, Meninggal di Usia 83”.
Masyarakat Singapura kini memang dengan bangga menyebut negaranya sendiri sebagai titik merah kecil di peta. Namun saat istilah itu pertama kali muncul, mereka sebenarnya sangat murka.
Istilah ini pertama kali terlontar dari mulut Habibie saat berbincang dengan The Asian Wall Street Journal pada 1993, tiga bulan setelah dilantik sebagai presiden menggantikan Soeharto.
Kala itu, ia mengaku kecewa karena perdana menteri Singapura, Goh Chok Tong, terlambat mengucapkan selamat atas jabatan baru Habibie. Ia pun merasa Singapura tidak menganggap Indonesia sebagai sahabat di tengah krisis ekonomi.
Habibie kemudian berjalan ke arah peta dan menunjuk seraya berkata, “Tidak apa-apa, tapi ada 211 juta orang [di Indonesia]. Semua [wilayah] yang hijau adalah Indonesia, dan titik merah itu adalah Singapura.”
Singapura membantah tudingan Habibie soal keterlambatan ucapan selamat dari Goh. Sang PM bahkan menanggapi pernyataan Habibie tersebut dalam pidato kenegaraan pada 23 Agustus 1998.
“Kami hanya memiliki tiga juta penduduk. Singapura hanyalah titik merah kecil di peta. Bagaimana mungkin kami bisa menolong 211 juta penduduk Indonesia?” kata Goh.
Tak hanya Goh, rakyat Singapura pun meradang karena menganggap ucapan Habibie tersebut sebagai hinaan terhadap negaranya.
Habibie berusaha menenangkan keadaan dengan menjelaskan bahwa maksud pernyataannya adalah untuk menggenjot semangat anak muda agar tetap berusaha sukses meski dibelenggu keterbatasan.
Usai ketegangan mereda, rakyat Singapura justru bangga menggunakan istilah titik merah kecil. Sebagaimana dilansir The Independent, mereka menganggap sebutan itu menunjukkan kekuatan Negeri Singa di tengah keterbatasan.
Di sisi lain, sebutan itu juga mengingatkan Singapura bahwa mereka hanya bagian kecil dari bumi ini dan sangat rentan.
Berkaitan atau tidak dengan ucapan Habibie, pada 2015 Singapura bahkan merayakan 50 tahun kemerdekaan dengan logo bertuliskan “SG50” yang dibingkai lingkaran merah. (*)