SUNGGUH tindakan rezim semakin represif. Padahal yang dihadapi adalah mahasiswa yang menyuarakan ketidaksetujuan pada rancangan undang-undang yang dibahas oleh pemerintah dan DPR. Yang dituntut adalah hal yang wajar bukan mengada-ada. Bahwa pola aksi lebih dari sekadar berani adalah khas mahasiswa yang memang berusia muda.
Jika berujung rusuh itu belum tentu murni, berulang kerusuhan selalu disebabkan kelompok orang yang disusupkan. Akibatnya ini menjadi seperti SOP dalam aksi. Gerakan mahasiswa itu murni sebagai wujud spirit perlawanan pada kebijakan rezim yang tidak adil. Di ruang pendidikan didoktrinkan untuk selalu memihak dan memperjuangkan kebenaran.
Untuk kedua kali rezim Jokowi membuat goresan luka yang tak mungkin terlupakan melakukan tindakan represif terhadap aksi warga. Pertama 21 dan 22 Mei 2019 di depan gedung Bawaslu. Brimob melakukan tindakan yang di luar batas kewajaran. Korban tewas dan luka, dewasa dan remaja.
Yang kedua tentu gerakan aksi September 2019 saat menghadapi mahasiswa yang didukung pelajar di depan gedung DPR/MPR. Bahkan di daerah pun dibangun “bentrok” aparat dengan mahasiswa. Korban di RS cukup banyak.
Sikap keras ini berbeda dengan menghadapi aksi yang berbau separatisme di Papua. Mencolok sekali perbedaan cara menangani aksi-aksi sehingga inipun menjadi bahan cibiran.
Terhadap aksi kekerasan, radikal dan intoleran aparat kepolisian yang menciptakan citra buruk bagi rezim pemerintahan Jokowi ini dapat dipandang sebagai berikut :
Pertama, bahwa menjadi pertanyaan persoalan “protap” penanganan baik aspek institusional maupun kurikulum muatan penanganan “radikal dan intoleran” di lingkungan lembaga pendidikan kepolisian, Brimob khususnya.
Kedua, perlu pengusutan tuntas oknum yang bertanggung jawab atas kebijakan atau tindakan yang dipandang “luar batas” tersebut. Tim independen jauh lebih baik. Tim internal kepolisian yang dibentuk untuk menyelidiki kasus 21-22 Mei dahulu saja tidak jelas konklusinya. Masyarakat menilai penyelesaian lebih pada aspek politis daripada faktual dan adil.
Ketiga, jika melakukan tindakan represif terus bukan mustahil mahasiswa atau elemen lain termasuk solidaritas unik pelajar, akan melakukan perlawanan pada polisi. Simpati dan dukungan pada mahasiswa semakin besar. Mengingat polisi secara psiko politis berjalan sendiri, tidak terlalu solid dengan TNI, maka daya tahan akan semakin rapuh.
Keempat, konsep “democratic policing” Tito Karnavian yang telah mampu menempatkan perwira politik di berbagai posisi strategis, terakhir Ketua KPK, akan rontok oleh kebijakan represif menangani aksi.
Apa yang terjadi di lapangan itulah wajah kepolisian yang nyata. Sikap kasar dan brutal telah merusak konsep “polisi yang berperan di negara demokrasi”. Tesis menjadi berantakan oleh perilaku para komandan lapangan.
Represivitas yang meningkat membawa arah pergeseran isu pada Jokowi. Yel Jokowi turun akan semakin bergemuruh. Legitimasi runtuh. Tak bisa bertahan kekuasaan jika korban semakin berjatuhan. Ujungnya Presidenlah yang akan jatuh dan…
Jokowi pun selesai…!
M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik