BADAN intelijen Amerika Serikat atau CIA, pada 16 September 2015 merilis sekitar 2.500 memo rahasia mengenai rangkuman pengamatan lembaga itu terhadap hal-ihwal peristiwa dunia pada rentang waktu 1961-1969.
Berjudul “The President’s Daily Brief”, berkas-berkas itu menawarkan pandangan kepada khalayak mengenai cara CIA menyampaikan pemantauannya atas pelbagai peristiwa dunia kepada Gedung Putih.
Pelbagai catatan mengenai perkembangan situasi di Indonesia pada 1965, yang hingga kini dianggap masih belum terang-benderang, juga tertambat pada bundel uraian itu.
“Manuver terhadap para pemimpin Angkatan Darat (AD) antikomunis pagi ini disusul upaya kontrakudeta. Situasi teramat membingungkan dan masih belum berujung jelas. Peran Sukarno, jika memang ada, dalam peristiwa hari ini masih dalam tanda tanya besar,” demikian paragraf pertama memo tersebut.
Lalu dilanjutkan dengan, “Kedua pihak [yang berseteru] mengklaim setia kepada presiden dan sama melindungi presiden. Enam jenderal, di antaranya Panglima Angkatan Darat Yani, jelas diculik oleh pelaksana [kudeta].”
“Setidaknya dua dari para perwira [yang diculik] kabarnya terbunuh. Perwira lain, seperti Yani dan Menteri Pertahanan Nasution, terluka,” demikian tiga memo pada 1 Oktober 1965, hari ketika sejumlah jenderal teras Angkatan Darat diculik dan dibunuh.
Menurut memo itu, situasi di Jakarta akan bergantung kepada kondisi Presiden Sukarno. “Jika [Sukarno] terluka atau benar-benar dilumpuhkan, perang saudara akan pecah,” demikian memo di laman CIA.
Suharto, salah satu petinggi AD yang akhirnya menggantikan Sukarno sebagai presiden, disebutkan memandu jalannya “kontrakudeta beberapa jam kemudian. Ia mengambil alih [stasiun Radio Republik Indonesia], Jakarta.“
Pada hari-hari setelahnya, memo menunjukkan bahwa perbenturan kian mengerucut ke dua kubu: AD dan PKI. CIA lantas melaporkan bahwa “[PKI] agaknya raib dari permukaan. Sejumlah anggota partai mengungkapkan rasa putus asa kecuali Sukarno memanfaatkan sihir politiknya untuk menyelamatkan partai.“
Sementara itu, masih pada memo, hasrat tentara untuk mengganyang PKI kian membuncah. “Dari semua indikasi yang ada, jajaran tinggi tentara masih sangat ingin mencari perhitungan dengan [PKI], dan kecurigaan mereka terhadap Sukarno semakin menjadi.“
Beberapa bulan kemudian, yakni pada 16 November, kentara bahwa tentara sepenuhnya telah menguasai keadaan. “Sukarno menyerah kepada desakan tentara dan memerintahkan ‘pembersihan’ di tubuh pemerintahan. Bentuk [penyerahan] adalah instruksi presiden untuk menggeser semua awak pemerintah yang terlibat gerakan 30 September…”
“Langkah itu mencerminkan keuntungan psikologis yang besar bagi para pemimpin militer. Mereka sebelumnya pernah aktif ‘membersihkan’ pemerintahan. Tapi, ini adalah kali pertama mereka sanggup mendapatkan persetujuan Sukarno.”
Tersiarnya dokumen CIA yang tak lagi rahasia itu masih dianggap belum cukup menyingkap kabut tebal urusan peristiwa 1965, terutama mengenai ihwal apakah PKI dan Sukarno terlibat di dalamnya. Pasalnya, masih banyak bagian dari memo yang disensor.
Untuk memberikan gambaran lain, dalam sebuah makalah yang disiapkan Benedict Anderson dan Ruth Mcvey PKI maupun Sukarno tidak terlibat dalam gerakan yang, pada hemat mereka, berakar pada masalah internal tentara.
Sementara itu, dalam publikasi lain, peran CIA dalam memantik peristiwa berdarah 1965 justru kuat mengemuka. Dilansir Washington Post, Kementerian Luar Negeri AS pada 1994 menerbitkan laporan terperinci mengenai operasi senyap CIA di Indonesia pada dasawarsa 1950-an menyusul kecemasan luar biasa atas menguatnya pengaruh komunisme pada Presiden Sukarno.
Menurut seorang petinggi kementerian AS, negerinya, dalam praktik, memelihara hubungan diplomatik normal dengan Jakarta. Namun, secara diam-diam, pemerintahan AS melakukan intervensi dalam tubuh militer.
Menteri Luar Negeri saat itu, John Foster Dulles, mengatakan bahwa Sukarno dipandang“berbahaya, tidak dapat dipercaya, dan mudah terpengaruh pemikiran komunis.” Lantas, pada awal 1958, AS mulai memasok dan mendukung kelompok militer pembelot di Sumatera dan Sulawesi.
Pada 1959, saat mulai nampak bahwa para pemberontak akan gagal, AS berubah haluan. Ia menggeser topangan ke arah tentara yang memerangi gerombolan pembangkang. Harapannya, para pemimpin tentara akan menjadi penyeimbang bagi Sukarno dan Partai Komunis Indonesia.
Bertahun kemudian, strategi itu terbukti efektif pada 1965.
Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, Omar Dani, salah satu perwira cemerlang Indonesia yang dituduh terlibat dalam peristiwa 1965, mengatakan “bahwa G-30-S itu rekayasa, memang begitulah. Menurut saya, CIA itu sangat terlibat, dan Harto (mantan Presiden Suharto) adalah tangan yang dipakai.” (*)