KARAWANG-Sebanyak 16 nelayan menggugat Direktur Utama PT Pertamina Persero dan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java terkait tumpahan minyak di Karawang, Jawa Barat.
Dikutip dari situs resmi PN Jakarta Pusat, gugatan itu dilayangkan oleh 16 nelayan, yakni Santawi, Andi Samsu Alam, Bintang, Nana Suryana, Nurjaini, M. Harun, Haruna, Hendra, Wardiman, Arifudin, Hamzah Wahe, Gala, Saka, Sakka, Wirman, dan Hubes.
Gugatan didaftarkan ke PN Jakarta Pusat pada 5 September dan ditetapkan di hari yang sama. Berdasarkan situs PN Jakpus, sidang pertama akan dilaksanakan pada 3 Oktober 2019.
Para nelayan menggugat Pertamina dengan Pasal 1366 KUHPerdata tentang kelalaian.
“Menyatakan perbuatan para tergugat melawan hukum karena kelalaian,” demikian kutipan gugatan itu.
“Atas terjadinya peristiwa hukum (insiden) flow atau timbulnya gelembung atau kebocoran atau keluarnya atau semburan atau tumpahan gas atau minyak mentah (Oil Spill) kedalaman kurang lebih sekitar 2700 meter di bawah laut dan keluar menyemburkan lapisan minyak (oil sheen) ke permukaan laut Pantai Utara Karawang-Jawa Barat,” imbuh gugatan nelayan itu.
Akibat tumpahan minyak itu, kata para penggugat, pencemaran meluas mulai di perairan pantai dan laut dan pulau sekitar Laut Jawa Barat (Pantai Perairan Bekasi – Karawang) hingga ke wilayah kepulauan seribu (Pulau Air, Pulau Untung Jawa, Pulau Bidadari, Pulau Lancang, Pulau Rambut, Pulau Damar), pantai dan Pulau Tiga atau Pulau Pamujaan Besar.
Pengkampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Dwi Sawung menyebut 16 nelayan tersebut berasal dari Banten dan Pulau Tidung.
Dalam aksi damai, Rabu (18/9), di depan Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (KORMAS) mendesak PT Pertamina Persero segera membuka data terkait kebocoran sumur YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) kepada publik.
Pembukaan data tersebut dianggap penting agar publik mengetahui duduk perkara dari tumpahan minyak itu.
“Pertamina terkesan menutup-nutupi informasi utuh kebocoran sumur dan penanganan tumpahan minyak. Tumpahan minyaknya bukan cuma di perairan Karawang tapi sampai Banten,” tutur koordinator aksi sekaligus aktivis dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional Bagus di Kantor Ekskutif Walhi seusai aksi.
Ketika kejadian tersebut berlangsung tidak pernah dibuka ke publik. Hanya sedikit saja. Tidak bilang apa yang terjadi lebih detail, detik per detik,” imbuhnya.
Pihak koalisi sendiri telah melayangkan dua surat kepada PT Pertamina Persero dan PT Pertamina Hulu Energi. Surat tersebut berisi permintaan untuk membuka data lengkap sumur YYA-1 dan sebaran pencemaran yang diakibatkan.
Jurukampanye Greenpeace Arifsyah Nasution mengatakan pihak Pertamina tak bisa memenuhi permintaan tersebut dengan dalih tidak memiliki datanya.
“Sumur ini cuma satu dari banyak sumur di blok itu. Ini bukan blok baru ini salah satu blok migas terlama. Jadi kalau mereka bilang tidak menguasai data yang kita minta, mereka kerja apa?” cetus dia.
Diketahui, kebocoran sumur YYA-1 berawal dari munculnya gelembung gas saat berlangsung kegiatan pengeboroan sumur pada pukul 1.30 WIB pada Jumat (12/7). Mabes Polri pun turun tangan melakukan penyelidikan.
Pertamina menduga pengeboran sumur reaktivasi YYA-1 pada Jumat (12/7) merupakan penyebab munculnya gelembung gas hingga ceceran minyak di kawasan itu.
PT Pertamina Hulu Energi (PHE) melalui anak usahanya PT PHE Offshore North West Java (ONWJ) sendiri mengaku sudah membayar kompensasi tahap awal kepada warga terdampak kebocoran minyak di perairan Karawang, Jawa Barat, senilai Rp18,54 miliar kepada 10.271 warga. (*)