BANDUNG-Saat ini terutama di negara-negara maju dan berkembang, dengan banyaknya aktivitas pembangunan sedikitnya akan mengakibatkan terjadinya kontaminasi terhadap lingkungan baik ke air, udara, maupun tanah. Pencemaran terhadap tanah menjadi hal yang penting untuk segera ditangani karena akan berpengaruh terhadap aspek lainnya, yaitu air tanah.
Dosen Institut Teknologi Bandung, Agus Jatnika Effendi, Ph.D., dari Kelompok Keahlian Rekayasa Air dan Limbah Cair, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB melakukan penelitian tentang teknologi soil washing atau alat pencuci tanah yang mampu bekerja memperbaiki tanah yang telah terkontaminasi.
Soil washing sendiri adalah salah satu teknik memulihkan tanah yang tercemar, kembali ke kondisi awal atau semula. Sehingga tidak menyebabkan terjadinya penghantaran polutan ke media lain. Dalam penelitian, ia menjelaskan, pendekatan yang digunakan adalah remediasi atau pemulihan kembali.
“Yang jadi konsen saya sebagai peneliti adalah bagaimana penanganan pencemaran atau kontaminasi di tanah. Kenapa begitu, karena pada dasarnya, sistem tanah itu akan bergabung dengan sistem air tanah, air itu akan menjadi konsumsi manusia, dan akhirnya manusialah yang tetap terkena dampak,” ujarnya.
Dia mengatakan, sebetulnya banyak sekali teknik pemulihan tanah terkontaminasi, salah satu yang dikembangkan di ITB adalah soil washing. “Soil washing sendiri bukanlah teknologi yang baru sebetulnya, di negara-negara maju terutama negara di mana pembangunan sangat masif, kejadian pencemaran tanah sudah banyak terjadi, dan sudah banyak diaplikasikan,” ujarnya.
Menurutnya, yang unik dari teknologi soil washing ini adalah spesifik terhadap karakteristik setempat. Kemudian, jenis kontaminannya pun berbeda-beda. Selain soil washing, teknik lain untuk pencucian tanah adalah bio-remediasi yaitu menggunakan pendeketan secara biologi dengan memanfaatkan bakteri. Namun dijelaskannya, salah satu kelemahan dari bio-remediasi adalah waktunya yang lambat. “Dengan pendekatan soil washing ini diharapkan waktu pemulihan akan lebih singkat,” tambahnya.
Sistem Kerja Teknologi Soil Washing
Penelitian tentang soil washing mulai dilakukan pada 2015 dengan latarbelakang penelitian dari kasus tanah tercemar minyak bumi. Dijelaskan Agus, sebetulnya sistem kerja dari teknologi soil washing sangatlah sederhana, yaitu memindahkan kontaminan yang melekat di dalam tanah ke dalam media lain (fluida).
“Jadi secara konseptual, kita hanya memindahkan dari tanah ke fluida lain, yaitu cairan. Mirip dengan mencuci baju, baju yang kotor kita rendam dan dicuci sehingga bersih, dan yang kotor adalah airnya,” singkatnya.
Dia menjelaskan, pada praktiknya, teknologi soil washing bukanlah teknologi yang berdiri sendiri. Akan tetapi juga terintegrasi dengan proses pencucian air (water wash) yang dipakai dalam pencucian tanah, sehingga bisa digunakan kembali.
“Mekanisme secara fisika disebut sebagai desorpsi, yaitu bagaimana melepaskan ikatan kontaminan dengan tanah supaya terkonversi dengan air, supaya nanti ketika sudah masuk ke air, pengolahannya jauh lebih mudah,” ujarnya.
Adapun, jenis-jenis pencemaran yang bisa dibersihkan menggunakan soil washing adalah tanah yang tercemar minyak bumi, dan tanah tercemar logam berat. Itu semua merupakan masalah umum pencemaran tanah yang terjadi di Indonesia. Selain daripada itu, tanah-tanah yang kini tidak produktif karena tercemar seperti yang terjadi di daerah dekat industri tekstil, itu juga bisa dipulihkan menggunakan soil washing.
“Salah satu pertimbangan dari soil washing adalah portable. Jadi mudah diaplikasikan di lokasi langsung. Jadi kalau di satu lokasi perlu dilakukan remediasi, kita bisa dengan segera mengaplikasikannya,” ujarnya.
Namun, disampaikan Agus, biaya pemulihan tanah menggunakan teknologi soil washing memang tidaklah murah. Setidaknya diperlukan 100 – 200 USD per meter kubik (m3) untuk memulihkan tanah yang tercemar. Sementara teknologi bio-remediasi memang lebih murah yaitu 20-80 USD per m3-nya. “Memang dari segi biaya lebih mahal pendekatan soil washing, tapi kembali ujung-ujungnya efisiensi waktu,” katanya.
“Riset tersebut merupakan riset terapan. Kami tetap berharap ada pihak yang bekerja sama dalam mengaplikasikan teknologi ini. Karena kalau yang menjadi pertimbangannya adalah waktu, maka soil washing ini adalah alternatifnya,” tambahnya. (rls)