BMKG mencatat ada gempa tektonik sebanyak 673 kali sepanjang Agustus 2019. Tercatat ada 3 gempa yang merusak pada Agustus lalu.
“Gempa bumi dengan magnitudo signifikan di atas 5,0 (M > 5,0) terjadi sebanyak 22 kali. Sedangkan gempa bumi yang guncangannya dirasakan terjadi sebanyak 56 kali. Selama bulan Agustus 2019, di Indonesia terjadi gempa merusak 3 kali,” kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, lewat keterangannya, Kamis (5/9/2019).
Peristiwa pertama gempa merusak terjadi di selatan Banten pada Jumat (2/8) dengan magnitudo 6,9. Peristiwa ini menyebabkan 7 bangunan rumah yang tersebar di tiga daerah di Jawa Barat, yakni Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sukabumi, rusak.
Peristiwa pertama gempa merusak terjadi di selatan Banten pada Jumat (2/8) dengan magnitudo 6,9. Peristiwa ini menyebabkan 7 bangunan rumah yang tersebar di tiga daerah di Jawa Barat, yakni Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sukabumi, rusak.
Gempa merusak kedua ialah gempa bumi di Banyuwangi, Jawa Timur, pada Senin (12/8), dengan magnitudo 4. Beberapa rumah di Pantai Pancar dan Rajegwesi, Banyuwangi, rusak ringan. Gempa merusak ketiga terjadi pada Jumat (23/8) dengan magnitudo 4 yang menyebabkan beberapa rumah warga rusak ringan di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor.
BMKG mencatat ada dua peristiwa gempa swarm di Bogor dan Madiun. Swarm adalah serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo relatif kecil dengan frekuensi kejadian sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama di wilayah sangat lokal.
“Gempa swarm Madiun terjadi pada 3 Agustus 2019 di mana terjadi gempa lebih dari 19 kali dalam sehari. Selanjutnya adalah swarm juga terjadi di sebelah barat daya Kaki Gunung Salak pada 10-28 Agustus 2019. Selama sekitar 18 hari terjadi gempa lebih dari 84 kali hingga masyarakat resah dan sebagian mengungsi di perkebunan teh. Patut disyukuri bahwa aktivitas swarm saat ini sudah mereda,” ungkap Daryono.
Fenomena ini sempat terjadi di Klangon, Madiun (Juni 2015); Jailolo, Halmahera Barat (Desember 2015); dan Mamasa, Sulawesi Barat (November 2018). Pada beberapa kasus, swarm terjadi di zona gunung api.
Daryono mengatakan swarm terjadi di kawasan yang mengalami medan tegangan berkaitan dengan desakan aktivitas magmatik. Selain berkaitan dengan kawasan gunung api, beberapa laporan menunjukkan aktivitas swarm juga dapat terjadi di kawasan nonvulkanik. Swarm memang dapat terjadi di kawasan dengan karakteristik batuan yang rapuh sehingga mudah terjadi retakan (fractures).
“Terjadinya fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadikan pembelajaran tersendiri untuk masyarakat karena memang jarang terjadi. Dampak dari gempa swarm diakui memang meresahkan masyarakat. Jika kita belajar dari berbagai kasus gempa swarm di berbagai wilayah sebenarnya tidak membahayakan jika bangunan rumah di zona swarm memiliki struktur yang kuat,” tutur Daryono. (*)