AKSI demonstrasi yang terjadi sejak sepekan lalu menelan korban. Kendari mencatat luka, korban demonstrasi pertama gugur di sana.
Seorang mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo Kendari, Randi (21 tahun), meninggal dunia. Warga Desa Lakarinta, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna ini meninggal dunia setelah tertembak peluru karet di bagian dada sebelah kiri. Pemuda berambut ikal itu mengalami luka dalam di dadanya setelah tertembak, yang diduga terjadi dari jarak dekat. Ia meregang nyawa di tengah tuntutan yang belum selesai dan terus menggelombang.
Randi menjadi martir pertama dalam aksi demonstrasi yang telah berlangsung sejak sepekan lalu. Ia adalah anak dari pasangan La Sali dan Wa Nasrifa. Almarhum merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Saat kabar duka diterima, sang ayah yang merupakan seorang nelayan sedang menjaring ikan. “Ayahnya masih di laut,” ujar Pj. Kepala Desa Lakarinta, La Ode Alfin.
Demonstrasi yang awalnya diinisiasi mahasiswa di Jakarta, terus menyebar ke berbagai kota di Indonesia. Sejak awal pekan hingga Kamis, 26 September 2019, aksi demonstrasi terus silih berganti. Mahasiswa selesai, muncul anak sekolah menengah. Jakarta beristirahat, berbagai daerah menaikkan eskalasi.
Di Jakarta, aksi yang terjadi pada Selasa dan Rabu, 23-24 September 2019, tak cepat berhenti. Malam hari, kerusuhan pecah di sekitar Gedung DPR RI dan terus berlanjut hingga dini hari. Massa menolak menyerah, sementara polisi juga terus berusaha menekan dan membubarkan. Gubernur DKI Anies Baswedan menyebut, ada 273 mahasiswa yang perlu mendapat perawatan akibat bentrokan. Tiga di antaranya mengalami luka serius.
Hari kedua demonstrasi, siswa Sekolah Menengah Atas sebagian besar adalah anak Sekolah Teknik Menengah (STM) bergantian dengan mahasiswa. Anak-anak ini dikabarkan lebih militan. Mereka datang dari berbagai wilayah ibu kota, termasuk dari Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi dan Banten.
Di berbagai daerah, kondisi yang serupa juga terjadi. Kerusuhan pecah di berbagai lokasi demonstrasi. Massa demonstran dan polisi terlibat bentrokan. Simpang siur kabar bertebaran. Kapolri Jenderal Tito Karnavian meyakini aksi ditunggangi. Ada berbagai ciri yang membuatnya memastikan dugaan itu.
Pola yang Sama
Tito dengan yakin mengatakan demonstrasi yang berujung ricuh di sekitar gedung DPR sudah ditunggangi pihak tertentu. Tito melihat, rusuh di demo di DPR dua hari terakhir ini mirip peristiwa rusuh di sekitar Bawaslu pada 21-23 Mei 2019.
“Ini mirip pola 21-23 Mei lalu. Dimulai sore hari dan selesai malam hari. Ini terlihat cukup sistematis, artinya ada pihak yang mengatur,” kata Tito di kantor Menkopolhukam, Jakarta, Kamis, 26 September 2019.
Sejak rusuh aksi demonstrasi dua hari belakangan ini, polisi telah menangkap 200 orang. Polisi juga menyita barang bukti berupa bom molotov. Menurut Tito, hasil pemeriksaan di Polda Metro Jaya, mereka yang ditangkap bukan mahasiswa. Dari pemeriksaan itu juga polisi mengetahui ada pendemo bayaran.
“Yang ditangkap juga sebagian di antaranya bukan mahasiswa dan pelajar, mereka masyarakat umum. Ketika ditanya juga apa aksi itu, enggak paham tentang RUU apa, enggak ngerti. Bahkan di antaranya mereka mendapatkan bayaran, di sini kita melihat bahwa fenomena aksi demo semua yang menyampaikan aspirasi berubah anarki inkonstitusional, melanggar prinsip hukum,” ujarnya.
Hal lain yang membuat Tito yakin aksi tersebut ditunggangi adalah munculnya banyak hoax yang memprovokasi berbagai aksi di daerah. Hal itu juga menandakan ada upaya provokasi dari pihak tertentu yang memanfaatkan aksi mahasiswa.
“Muncul hoax dan meme ataupun tulisan yang menyebabkan korban yang meninggal, padahal itu peristiwa di NTB. Ada yang menyebutkan ada yang meninggal di RS Pelni, padahal masih dirawat dan banyak juga anggota TNI Polri yang terluka tapi tidak di-cover, yang di-cover adalah pendemo dan pesuruhnya yang terluka. Ini kita lihat ada upaya provokatif untuk memanasi,” katanya.
Tito minta masyarakat cerdas dan mau melakukan cek atas berbagai informasi yang beredar, sehingga tidak mudah terprovokasi. “Kita minta masyarakat jangan mudah menerima, belum tentu benar, berita hoax ada upaya menciptakan adu domba dan seolah-olah ada korban, seolah-olah ada kekerasan yang eksesif dalam memancing emosi,” ujarnya.
Kecurigaan adanya yang menunggangi aksi massa juga disampaikan oleh Menkopulhukam Wiranto. Menurut Wiranto, yang dihadapi oleh aparat pada 24-25 September 2019 di depan gedung DPR/MPR adalah perusuh, bukan demonstran atau pengunjuk rasa. Dia juga menyebutnya sebagai preman.
“Yang dihadapi bukan demonstran yang mengikuti aturan unjuk rasa, tapi betul-betul suatu kelompok perusuh yang dilaksanakan secara sistematis untuk melanggar hukum,” kata Wiranto di Jakarta, Kamis, 26 September 2019.
Tujuan mereka, katanya, melakukan kegiatan yang bersifat inkonstitusional atau melanggar hukum. Dia menyebutkan, aksi lempar batu dan petasan sebagai buktinya. “Mereka betul-betul mengerahkan bukan lagi pelajar, tapi juga preman dan perusuh yang bertindak brutal,” ujarnya.
Pengamat politik Ujang Komaruddin juga meyakini, ada penunggang gelap di balik aksi rusuh akhir-akhir ini. Menurut dia, mahasiswa dan pelajar tidak mungkin melakukan aksi anarkistis dan pembakaran seperti yang terlihat pada aksi beberapa hari ini.
“Tentu kalau aksi yang menghadirkan, melahirkan, menimbulkan dampak kerusakan, chaos, itu dugaan saya ada yang menyusupi. Saya rasa mahasiswa di mana-mana gerakannya damai, gerakan tanpa anarkisme, gerakan intelektual dan gerakan moral,” kata Ujang saat dihubungi, Kamis, 26 September 2019.
Ujang menduga, penyusup itu punya agenda lain untuk mendelegitimasi pemerintah atau menjatuhkan citra mahasiswa.
Siapa Aktor Penunggang
Meski Wiranto dan Tito dengan lugas meyakini adanya aktor yang menunggangi aksi demonstrasi, tapi siapa penunggangnya tak ada yang jelas. Polri mengaku sedang mendalami siapa otak di balik kerusuhan yang terjadi.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan, pihaknya masih mendalami master mind dan dalang kerusuhan tersebut.
“Perlu disampaikan demo yang terjadi di beberapa wilayah memang ditumpangi oleh perusuh yang sengaja memprovokasi mahasiswa dan masyarakat melakukan tindakan anarkis. Kita masih dalami siapa master mind dan dalang kerusuhan ini,” kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 26 September 2019.
Dedi menuturkan, pihaknya masih mendalami apakah ada keterkaitan di antara beberapa tersangka yang sudah diamankan.
“Semua itu akan dikoneksikan dari beberapa Polda apakah para tersangka memiliki keterkaitan untuk menentukan master mind. Demo yang seharusnya damai dilakukan mahasiswa tapi ketika disusupi pelaku rusuh ini membuat demo rusuh akhirnya,” ujarnya.
Dedi menegaskan, Polri dalam melakukan pengamanan selalu mengedepankan pendekatan dialogis. Namun apabila aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai berujung anarki maka aparat akan melakukan tindakan tegas sesuai dengan undang-undang.
“Tindakan tegas dilakukan agar demo tidak meluas. Demo anarki merugikan semua pihak. Kecuali pihak yang memang bermain,” ujarnya.
Pengamat politik Ujang Komaruddin meyakini, ada penunggang gelap di balik aksi rusuh akhir-akhir ini. Menurut dia, mahasiswa dan pelajar tidak mungkin melakukan aksi anarkistis dan pembakaran seperti yang terlihat pada aksi beberapa hari ini.
Pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengaku tak bisa menjelaskan, siapa aktor yang berada di balik kerusuhan itu. “Saya tidak bisa menuduh siapa di belakang itu karena saya harus berdasarkan fakta. Tapi kalau ada kerusuhan ada di situ penumpang gelapnya. Siapakah orangnya, jujur tidak tahu,” kata dia.
Ujang juga menyoroti adanya isu pembatalan pelantikan Presiden Joko Widodo. Sebab, sejauh ini mahasiswa hanya menyuarakan pembatalan RUU KUHP, UU KPK dan lainnya. Karena itu, Ujang menganggap apabila ada yang menyuarakan keluar dari konteks itu, maka hal itu bukan dari mahasiswa.
“Itu sudah berlebihan. Itu orang yang memanfaatkan situasi saya rasa. Ini kan gerakan moralnya menolak UU KPK, RUU KUHP dan lain-lain itu,” katanya. (red)