JAKARTA-Tim Advokasi untuk Demokrasi mencatat ada 93 laporan orang hilang setelah demonstrasi di Gedung DPR, Jakarta, 24-25 September kemarin. Mereka adalah mahasiswa dari beberapa kampus, pelajar STM, termasuk sipil biasa.
Tim Advokasi terdiri dari sejumlah LSM yang banyak mengadvokasi itu Hak Asasi Manusia (HAM). Di antaranya LBH Jakarta, LBH Masyarakat, ICJR, YLBHI, LBH Apik, Imparsial, PP Muhammadiyah, dan Kontras.
Detail orang hilang sebagai berikut: Universitas Singaperbangsa Karawang (15 orang), Unjani (41), Al Azhar (1), STH Bandung (1), Universitas Padjajaran (3), Universitas Islam Negeri (3), Universitas Yarsi (5), Institut Kesenian Jakarta (2), Universitas Brawijaya (1), Universitas Pamulang (3), dan Universitas Trisakti (1).
Ada pula yang berasal dari BSI (1 orang), STIKES Widya Dharma Persada (1), Universitas Gunadharma (1), Universitas Juanda Ciawi (1), Universitas Serang Raya (3), Teknik Payakumbuh (3), UIN Sunan Gunung Jati (1), Universitas Pembangunan Nasional (1), Universitas Mercubuana (1), dan Alumni UIN (1).
Lalu dari masyarakat sipil atau pekerja 1 orang dan pelajar STM asal Bogor 2 orang.
“Ini laporan dari keluarga dan kerabat,” kata pengacara publik dari LBH Jakarta yang tergabung dalam tim advokasi Nelson Nikodemus di kantornya, Jakarta, Jumat (27/9/2019). “Ini belum update lagi dari data yang dikeluarkan Polda tadi sore,” tambahnya.
Nelson bilang, orang hilang ini kemungkinan ada di kantor polisi karena ditangkap, dirawat di rumah sakit, atau sebab lain.
Sesalkan Polisi Tutup Akses Informasi
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan setelah mereka mendapat informasi dari pelapor, mereka langsung memverifikasinya ke polisi. Namun yang didapat nihil. Polisi tidak memberikan informasi soal jumlah orang yang mereka tahan.
“Karena akses informasi tidak dibuka, teman-teman yang memantau tidak tahu status hukum dari teman-teman yang ditangkap. Kami berharap polisi bisa memberikan informasi mahasiswa yang masih ditahan dan belum dikeluarkan,” katanya.
Polisi semestinya membebaskan semua orang dalam waktu 1×24 jam jika mereka tidak bisa membuktikan yang ditangkap bersalah.
Polisi juga tidak memberikan akses kepada tim advokasi yang hendak mendampingi. Padahal berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 81, setiap orang dapat memberikan bantuan hukum kepada korban.
Selain itu, “dari pantauan kami”, kata Arif, polisi juga menyalahi aturan karena mereka tidak mengeluarkan surat penetapan tersangka dan surat penahanan kepada orang-orang yang ditangkap.
Masalah lainnya, polisi tidak memberikan akses bahkan kepada orangtua korban. Salah satu yang sempat diperlakukan demikian adalah Ratna, ibu seorang mahasiswa Universitas Yarsi.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu mengatakan jiia polisi terus berbuat demikian, publik akan curiga mereka melakukan yang tidak semestinya terhadap para demonstran.
“Kalau seperti ini ada indikasi pihak kepolisian melakukan tindak penganiayaan kepada mahasiswa yang ditahan ketika dimintai keterangan di ruangan tertutup,” ucapnya.
Polisi Bantah Dugaan Penganiayaan
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono membenarkan bahwa mereka memang menangkap para demonstran.
Tapi, katanya di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019), para mahasiswa yang diamankan–istilah polisi untuk ‘penangkapan’–“sudah pulang semalam (Kamis).”
Argo tidak menyebut ada berapa mahasiswa yang dipulangkan.
Ada pula pelajar yang ditahan kini dibina di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani, Jakarta Timur.
Dia menyangkal dugaan yang menyebut polisi melakukan penganiayaan. Dia juga bilang kalau dalam pemeriksaan, “kami menyiapkan [sendiri] penasihat hukum [untuk yang ditangkap].” (*)